Kabar JKPP

Menuju Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Kebijakan Satu Peta dalam Kebijakan dan Implementasi

abet nego bersama Jokowi_ foto: detik.com[Kabar JKPP Edisi 21]
Pasca diundangkannya Perpres No. 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 pada tanggal 4 Februari 2016, beberapa target telah ditetapkan serta pelaksanaanya telah ditindaklanjuti oleh Badan Informasi Geospatial melalui beberapa kebijakan. Keputusan BIG No. 13 Tahun 2016 tentang Kelompok Kerja Nasional Geospasial Tematik pada tanggal 24 Maret 2016. Dimana lembaga ini melibatkan hampir seluruh Kementerian Lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemetaan dan penataan ruang serta instansi pendidikan dan organisasi masyarakat sipil.

Dimana sebelumnya, telah ada Keputusan BIG No. 54 Tahun 2015 Tentang Walidata Informasi Geospasial Tematik. Hal ini semua merupakan aturan turunan dari UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Melalui undang-undang inilah semangat untuk membangun suatu sistem informasi geospasial yang penyelenggaraannya dilaksanakan dengan tertib, terpadu, berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin keakuratan, kemutakhiran dan kepastian hukum penyelenggaraan informasi geospasial.

Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebuah Lembaga dibentuk untuk membantu Presiden dalam menjalankan program-program prioritasnya. Kantor Staf Presiden adalah sebuah Lembaga yang berperan untuk mengakselerasi program-program prioritas Presiden. Pada hari Senin 3 Oktober 2016, Tim dari Kabar JKPP mewawancarai Abetnego Tarigan selaku salah satu Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekolosi Strategis. Berikut adalah petikan wawancara:

Bagaimana Kantor Staf Presiden melihat Kebijakan Satu Peta dalam penyelesaian Isu Sosial Budaya dan Ekologis?

Kita dapat melihat latar belakang dalam pengambilan kebijakan prioritas Presiden belakangan ini. Presiden awal tahun mengeluarkan Perpres terkait dengan Badan Restorasi Gambut. Terdapat lebih kurang dua juta hektar kawasan-kawasan gambut yang perlu direstorasi. Selain itu, lokasi yang akan direstorasi ini diperkirakan berada di kawasan yang berizin. Bagaimana restorasi bisa berjalan kalau problem perizinannya itu tidak dibereskan. Selain itu, akan berkonsekuensi juga pada penegakan hukum. Apakah wilayah-wilayah yang dipetakan itu memang diakui atau tidak oleh otoritas atau lembaga yang mengeluarkan izin itu atau jangan-jangan berbeda. Kita bisa lihat melalui proses-proses pemetaan bagaimana tumpang tindih itu menciptakan hambatan-hambatan. Jadi, harus dibenahi terlebih dahulu  perizinannya baru bisa di restorasi. Karena kalau tidak akan menciptakan problem hukum baru. Ini satu contoh bagaimana kami melihat pentingnya Kebijakan Satu Peta.

Kemudian, Peta yang ada dan dimiliki masing-masing institusi ini semestinya sudah pada tingkat disinkronkan, yaitu dengan skala 1:50.000. Terkait hal itu, concern Presiden berikutnya, adalah kebakaran hutan dan lahan. Meskipun restorasi gambut berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, tetapi terdapat perhatian khusus pada aspek-aspek penegakan hukum. Hal ini berkaitan dengan peta-peta yang ada, misalnya argumentasi dari pihak kepolisian bahwa sulit dilakukan penindakan, tuntutan dll sehingga harus di SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Red). Hal itu desebabkan karena peta-petanya tidak jelas tentang siapa pemilikanya. Bisa saja secara defacto ada orang lain yang menguasai, tapi secara dejurenya ada badan hukum lain yang memiliki.

Secara konkrit untuk isu konflik dan penegakan hukum bagaimana kedudukan Kebijakan Satu Peta ini?

Ketika proses Kebijakan Satu Peta itu tidak didorong lebih cepat, kita akan lebih sulit berbicara soal-soal penegakan hukum terkait dengan pelanggaran hukum di kawasan yang memang secara luasan cukup luas. Kemudian juga di antara kawasan itu ada dibebani hak atau perizinan, sementara sisi lainnya, ada kemungkinan data dan informasinya salah. Terkait dengan kebakaran hutan dan lahan sebagai kasus yang menarik perhatian internasional, permasalahannya adalah bahwa ada banyak izin yang levelnya di tingkat daerah dan belum sampai ke pusat tapi sudah beroperasi. Sementara akses Pemerintah Pusat terhadap izin-izin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah itu tidak otomatis (diketahui oleh Pemerintah Pusat. Red). Itu terjadi karena sifatnya laporan, artinya kalau belum dilaporkan (Pemerintah Daerah. Red) berarti belum ada catatannya di Pusat. Tetapi secara defacto ada izin dan ada prakteknya. Contoh kasus misalnya, perkebunan kelapa sawit yang belum punya HGU dalam prakteknya sudah operasi atau tidak? Banyak yang sudah beroperasi. Dalam konteks logika hukumnya, harusnya punya HGU dulu baru beroperasi. Karena disitulah Negara dalam hal ini Pemerintah punya hak pungutan terhadap pajak bumi dan bangunan dan lain sebagainya. Informasi-informasi ini kan belum ada di Pusat. Jadi, dalam konteks Kebijakan Satu Peta, ketika suatu daerah memproses perizinan maka seharusnya informasi itu sudah harus masuk ke dalam sistem di Pusat. Dengan hal ini, kita bisa melihat subjek-subjek hukum yang bermasalah terutama antara masyarakat dengan aparat negara atau dengan swasta, termasuk mengetahui lebih lengkap terkait persoalan administrasi pemerintahanya. Oleh karenanya, kami melihat bahwa Kebijakan Satu Peta itu menjadi sangat strategis.

Kantor Staf Presiden dalam mengimplementasikan tugasnya adalah dalam kerangka visi dan misi Kepresidenan, sebenarnya apa prioritas Presiden saat ini?

Kami banyak bekerja di inisiatif open government dan one data. Di Kantor Staf Presiden sendiri, program-program Prioritas Pemerintah dilihat dari dua prioritas ini. Kami sebenarnya terbuka ketika ada kebutuhan dari lintas kementerian dan lembaga yang memang membutuhkan fasilitasi proses dari Kantor Staf Presiden. Pertama ada keuntungannya, karena proses komunikasi dengan Presiden bisa lebih cepat terutama kalau ada hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Kementerian/Lembaga. Paling pokok sebenarnya, karena memang tugasnya (Kantor Staf Presiden. Red) dalam banyak kesempatan menyiapkan bahan-bahan yang menjadi pertimbangan-pertimbangan Presiden, maka kami adalah back officenya Presiden.

Lalu, bisakah kita menempatkan Kebijakan Satu Peta ini dalam Prioritas Presiden saat ini?

Jadi, Kebijakan Satu Peta itu bisa membantu untuk memperjelas target-target yang disiapkan oleh pemerintah. Misalnya soal target pemerintah dengan segala kritiknya, soal perhutanan sosial ada 12,7 juta Ha. Lalu, target pemerintah terkait reforma agraria ada 9 juta Ha. Lalu, lahan yang 12,7 Ha dan 9 juta Ha ini mau didudukan dimana? Dalam konteks Kebijakan Satu Peta ini, jangan dilihat bahwa peta ini hanya dibutuhkan oleh institusi yang hanya berkaitan dengan spasial atau keruangan. Karena ketika berbicara soal pembangunan maka yang harus kita lihat bukan hanya akses ruangnya saja tapi ruangnya mau diisi seperti apa. Misalnya, kita bicara tentang perhutanan sosial tidak cukup dengan memberikan legalisasi penguasaan atau pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi, bagaimana penguasaan dan pengelolaan itu juga bisa berjalan. Seperti Menteri Koperasi dan UKM misalnya, bukanlah kementerian yang mengurusi keruangan tetapi perlu tahu berapa luas dan dimana saja petani-petani atau pekebun-pekebun atau masyarakat yang mengelola hutan yang memang perlu didukung. Hal ini penting untuk penguatan secara kelembagaan ekonomi mereka untuk usaha kecil, menengah dan koperasi. Itulah tuntutan yang ada dan karena itulah tugas kami untuk mengawal bagaimana ini bisa terimplementasi.

Dalam konteks Kebijakan Satu Peta yang sudah bergulir sejak berdirinya BIG dan dibentuknya Pokja IGT, Bagaimana Kantor Staf Presiden memonitor dan membantu kinerja BIG dan Pokja ini?

Peran kantor Kantor Staf Presiden ini yang paling utama itu kan debottlenecking’. Jadi, sumbat-sumbat botolnya (sumbatan kebijakan. Red) itu ada dimana, maka akan diupayakan perbaikannya. Dalam hal Kebijakan Satu Peta tentu yang mengurusinya adalah kementerian/lembaga teknis. Kantor Staf Presiden secara fungsi memang tidak mengambil alih suatu pekerjaan dari kementerian/lembaga teknis. Terkecuali, dari kewenangan kementerian/lembaga teknis hendak didorong suatu proses perubahan, dan dalam proses itu Kantor Staf Presiden dapat berperan untuk mempersiapkan rumusan dokumen kebijakannya. Dalam pengalaman di Kantor Staf Presiden, ketika tim kerja Reforma Agraria bekerja, maka sisi teknisnya, seperti menyelenggarakan workshop, diskusi dan lain sebagainya tetap dipegang oleh Kementerian terkait. Kantor Staf Presiden menyiapkan rumusan arahannya. Jadi, Kantor Staf Presiden tidak akan masuk ke soal-soal teknis itu.

Sudah sampai dimana proses sinkronisasi dan integrasi Peta Partisipatif dalam masing-masing Pokja IGT?

Dalam Kebijakan Satu Peta ini, proses yang terus didorong tidak semata-mata memang karena kepentingan masyarakat yang terkait konflik dan lain sebagainya. Tidak melihat hanya sebatas itu. Tapi ada hal-hal lain yang menurut kami itu harus dibereskan berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dikarenakan oleh persoalan-persoalan dalam pemetaan di Indonesia. Secara khusus, dalam berhubungan dengan Kementerian/Lembaga tetap dalam koridor hubungan antar lembagaan negara dengan tingkat kebutuhan yang lebih jelas. Misalnya, Kantor Staf Presiden memfasilitasi proses antar kementerian. Kemudian juga, bagaimana mendapat dukungan politik yang lebih luas. Karena ini kantornya Presiden, maka termasuk juga bagaimana mengakselerasi komunikasi-komunikasi terkait dengan program prioritas Presiden.

Memang tantangannya, dalam pemerintahan itu cenderung sukses tercapai kalau program itu ada di dalam satu kementerian. Kemudian eskalasinya semakin berat ketika suatu program itu lintas kementerian. Semakin berat lagi, kalau programnya lintas menko (Kementerian Koordinasi. Red). Semakin repot lagi, kalau program itu lintas menko dan melibatkan pemerintahan daerah. Kebijakan satu peta ini kan tidak langsung dikendalikan oleh Kantor Staf Presiden. Kebijakan Satu Peta itu, kebutuhannya itu ada. Kemudian ditinjau dari concernnya Presiden dengan berbagai kementerian yang menjalankan mandat undang-undang yang ada, maka tantangan sebenarnya adalah menjalankan rencana kerja pemerintah sesuai RKP tahunan yang diturunkan dari RPJMN. Kementerian menjalankan mandatnya sesuai undang-undang terkait tupoksinya kan gak salah. Kebijakan Satu Peta ini kalau sesuai undang-undang dan Perpres yang berlaku berada pada ranahnya BIG. Lalu, dalam RKP setiap kementerian/lembaga, bagaimana Kebijakan Satu Peta ini menjadi prioritas di dalam konteks kerja lintas kementrian? Hal itu menjadi satu pertanyaan politis sebenarnya. Pertama sekali, Kantor Staf Presiden biasanya bergerak ketika sudah muncul keluhan-keluhan terhadap proses pelaksanaannya. Kedua, ketika Kantor Staf Presiden menemukan kelambtan-kelambatan di dalam proses yang berjalan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan terhadap implementasi program atau arahan yang dari Presiden.

 

Bagaimana kebijakan teknis pendukung tersedia yang menjamin adanya proses implementsi Kebijakan Satu Peta itu?

Sekarang itu fase konsolidasi data peta di tingkat pemerintah. Selain itu, terkait pemetaan masyarakat sipil memang ada rencana untuk bagaimana mengakuisisi soal peta-peta yang dihasilkan oleh organisasi masyarakat sipil itu. Tetapi pekerjaan rumah yang pertamanya itu konsolidasi di tingkat pemerintahan yang belum selesai.

Sebenarnya Kantor Staf Presiden sudah memberikan concern soal ini. Kalau kita bicara ruang hari ini, maka yang banyak dibicarakan itu adalah Reforma Agraria dan Perhutan Sosial. Kedua hal itu sudah dibahas dalam rapat terbatas kabinet. Rapat terbatas kabinetnya sudah ada, ada persoalan terkait kebutuhan-kebutuhan data dan kami sendiri butuh untuk mendapatkan data itu secara terbuka. Untuk reforma agraria, pemenuhannya akan diperoleh sebagian dari 0,4 juta Ha dari HGU terlantar. Lalu, Presiden akan bertanya: berada dimana saja lahan itu? Kemudian, sebagian lagi dari pelepasan kawasan hutan 4,1 juta Ha. Pertanyaanya: “dimana saja itu?”

Ada juga persoalan terkait transmigran yang belum jelas aspek legalnya. Walaupun transmigrasi itu program lama pemerintah, tapi ternyata banyak sekali masalah dari aspek legal dan alokasi lahan yang berbeda di lapang. Kami melihat memang penting bagi kementerian untuk secara transparan membuka data itu. Kemudian, peta-peta yang dikeluarkan oleh kementerian itu bukan lah peta- peta final maka disebut peta indikatif. Tujuannya kan sebenernya agar bisa di verifikasi. Dua agenda besar ini tidak akan jalan kalau petanya tidak transparan.

Apa yang dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara kebijakan dan implementasi Kebijakan Satu Peta ini?

Pertama, keseluruhan proses-proses ini akan terus diikuti oleh Kantor Staf Presiden dengan keterlibatan di dalam Kebijakan Satu Peta ini. Kedua, setiap concern yang dihadapi sudah dikomunikasikan dengan kementerian terkait. Akan tetapi, situasinya saat ini terjadi pemotongan anggaran. Kedepannya, diperlukan strategi komunikasi yang baik terutama oleh BIG yang menjadi tumpuan dalam pelaksanaan Kebijakan Satu Peta ini. Terutama dalam komunikasi dengan publik agar segala sesuatunya bisa terlaksana. Kemudian proses-proses konsolidasi dan akuisisi peta dari kementerian itu harus bisa dipercepat.

Mengenai keterlibatan CSO (Organisasi Masyarakat Sipil.Red), juga sebaiknya memang diatur. Karena tidak mungkin pemerintah berlama-lama mengatakan akan terus melakukan konsolidasi dan akuisisi di level kementerian dan lembaga. Karena di sisi lain peran serta dan partisipasi masyarakatnya juga memang dibutuhkan untuk Kebijakan Satu Peta ini. Karena, itu (Kebijakan Satu Peta. Red) tidak dirancang untuk menjawab kebutuhan pemerintahan saja tetapi untuk menjawab kebutuhan nasional. Ketika kita bicara kebutuhan nasional, maka semua elemen stakeholder yang ada memiliki kepentingan atas output atau capaian-capaian dari Kebijakan Satu Peta ini.

Jadi, kembali lagi, kalau tentang keluhan secara formal itu kepada kami belum ada. Karena dalam Kebijakan Satu Peta saat ini sedang pada fase yang difokuskan pada internal Kementerian/Lembaga. Nantinya, BIG memang memerlukan strategi komunikasi yang mumpuni, baik terhadap Kementerian/ Lembaga maupun kepada masyarakat sipil.

Apa kira-kira kebutuhan mendesak dari Kebutuhan Satu Peta ini ke depannya dalam skala prioritas Presiden?

Kantor Staf Presiden memiliki Situation Room, yang menjadi media dalam merumuskan berbagai macam masukan dan juga memang dirancang untuk kebutuhan Presiden. Segala sesuatu yang terkait dengan peta memang menjadi sangat dibutuhkan. Presiden sedang concern dengan karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan. Red), juga soal konflik. Kedua hal itu harus didudukan dalam suatu ruang. Penting untuk tahu ruangnya ada dimana. Jadi, bukan lagi soal data berapa jumlah konfliknya yang kita butuh. Akan tetapi, dimana titik api itu berada, dimana titik kebakaran itu ada dan dimana konflik dengan masyarakat itu berada. Itu harus dimasukan dalam ruang yang tepat.

Dari segi kelembagaan, apakah ada hambatan bagi BIG menjalankan tugasnya?

Saat ini, belum ada evaluasi secara khusus terkait dengan kebijakan satu peta ini. Tetapi, BIG dalam menjalankan mandat ini bersama-sama kementerian lain juga dalam struktur, kedudukan dan kewenangan yang masing-masing dimilikinya. Hal ini disadari sehingga Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta ini dipimpin oleh Kemenko Perekonomian. Kendala-kendala yang dihadapi ini, secara prinsip itu jelas tapi secara proses kadang agak lambat. Saya memeriksa hasil pertemuan terkait Kebijakan Satu Peta ini, salah satu kendala yang ditemukan bahwa data yang dimiliki pemerintah belum standar satu dengan yang lain. Selain soal kualitas data yang belum terstandar, masalah kedua adalah belum tersedianya semua data yang dibutuhkan. Misalnya peta desa, banyak desa yang belum ada petanya, banyak peta-peta itu belum tersedia dengan cukup baik. Selain itu, catatan dari pertemuan terakhir di Kantor Staf Presiden adalah terkait dengan pengetahuan publik. Sampai sekarang, belum ada strategi komunikasi yang komprehensif dari Kebijakan Satu Peta. Bagaimana berkomunikasi tentang perkembangan yang ada belum dijalankan, karena saat ini Kementerian/Lembaga masih sangat berkonsentrasi pada proses collecting dan konsolidasi ditingkat kementerian lembaga.

Dalam konteks ini, sebenarnya menjadi tantangan, juga sekaligus menjadi rekomendasi. Pertama, BIG harus mampu membawa proses ini secara transparan. Artinya, kendala-kendala yang dihadapi BIG tidak mungkin cukup hanya diketahui oleh BIG saja atau institusi atau kelompok-kelompok yang concern saja terhadap Kebijakan Satu Peta ini saja. Kedua, Kebijakan Satu Peta ini belum dipahami secara baik oleh kementerian dan lembaga, bahwa ada objektif besar yang akan dicapai dengan Kebijakan Satu Peta ini. Ketiga, penanganan conflik of interest yang terjadi di Kementerian/Lembaga harus dicarikan jalan keluar. Dalam mengatasi tiga hal ini, BIG harus bisa memainkan peran aktif. Karena kalau dari pengamatan kita secara cepat, BIG ini merupakan satu institusi teknis yang scientific-based yang juga perlu memahami komunikasi, baik lintas kementerian/lembaga maupun komunikasi publik. Selain itu juga harus sadar dengan persoalan-persoalan politis yang terjadi dibalik kemacetan yang ada saat ini.

Selain masalah sinkronisasi data spasial untuk menuju kebijakan satu peta ini, bagaimana ke depannya implementasinya?

Kalau dari akuisisi sudah beres, perlu dipersiapkan kebijakan lainnya yang dibutuhkan. Karena ketika suatu kebijakan dikatakan final, maka akan berlaku secara nasional. Kita memerlukan sistem administrasi yang tepat dan harus diputuskan oleh Pemerintah. Untuk urusan teknis terkait, misalnya urusan hutan adat ada di KLHK, kemudian kalau tanah-tanah adat di luar kawasan hutan itu tanggung jawabnya ATR. Dalam konteks Masyarakat Adat secara keseluruhan disebut wilayah adat. Jadi, hutan adat dan tanah-tanah adat mereka ini dalam praktek berpemerintahan akhirnya terbagi dua dan menempuh jalan sendiri-sendiri. Skema-skema yang dibuat pemerintah tentu juga akan mempengaruhi masyarakat dalam melihat wilayah adatnya karena di dalamnya akan ada hutan adatnya dan ada tanah adatnya. Dibalik dua proses yang harus dilalui oleh Masyarakat Adat saat ini harus dibangun suatu sistem administrasi nantinya yang juga berkaitan dengan kebijakan tentang standar pemetaan itu sendiri.

Kapan Kebijakan Satu Peta ini akan menjadi bagian dari evaluasi Presiden?

Evaluasi satu tahun itu sangat memungkin terjadi karena kan Perpresnya sudah dikeluarkan tahun ini (2016). Kantor Staf Presiden tentu akan terus mengikuti proses ini, menemukan sumbatan di tingkat Kementerian dan mendorong perbaikan, selanjutnya mendorong peran serta masyarakat menjadi penting untuk ditindaklanjuti. Secara umum, yang harus dipikirkan sebenarnya didalam konteks kebijakan satu peta ini adalah: (i) soal kesenjangan-kesenjangan regulasi; (ii) soal standar-standar yang harus dipenuhi; (iii) mekanisme partisipasinya seperti apa (iv) mekanisme publik yang lebih luasnya harus dibangun dan disusun; (v) mekanisme keluhan (komplain) untuk ruang-ruang ketidakcocokan atau ketidaksesuaian di antara para pihak misalnya masyarakat merasa tidak puas atau kelompok-kelompok lain merasa tidak puas.

Selain itu, karena Kebijakan Satu Peta memang lintas kementerian, walaupun makin berat tapi dalam konsolidasi mau tidak mau Kementerian/Lembaga harus kerja sama.