Kabar JKPP

Menuju Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Integrasi Hasil Pemetaan Partisipatif Dalam POKJA IGT : Masyarakat Melek Peta, Pemerintah Melek Konflik

Konsolidasi SLPP Region Jabalnur Maluku dan Papua_8_9 Mei 2019 (42)
Imam Hanafi saat memberikan materi pada Konsolidasi SLPP Region Jabalnur Maluku dan Papua di Bali

Oleh : Imam Hanafi (Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif)

[Kabar JKPP Edisi 21]
Tahun ini adalah ulang tahun kebijakan satu peta yang ke-6 sejak diluncurkan di akhir tahun 2010 yang lalu. Sejauh ini, kebijakan satu peta masih berkutat dalam pembenahan struktural dan koordinasi yang kesemuanya masih meletakkan ekonomi dan investasi sebagai tolok ukur utama. Koordinasi dan sinergi antar kementerian lebih bernuansa pada kompromi politik untuk sekedar memuluskan proyek-proyek investasi dan kepentingan sektoral. Dengan kata lain, belum membawa perubahan bagi perbaikan situasi penguasaan dan pengelolaan ruang di Indonesia.

Kebijakan satu peta belum memberi dampak positif bagi penyelesaian konflik ruang dan lahan serta bagi penegasan status penguasaan ruang masyarakat. Konflik penguasaan dan pengelolaan ruang di Indonesia, sampai saat ini dan kedepan diperkirakan masih akan terjadi. Tarik menarik kepentingan dan egosektoral masih kental. Politik pengabaian hak masyarakat atas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan menjadikan posisi masyarakat lokal semakin lemah secara hukum dan jauh dari perlindungan hukum. Posisi masyarakat semakin rentan ditengah kuatnya tekanan stabilitas pembangunan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan social yang terus diwarnai dengan ancaman konflik dan kriminalisasi.

Setidaknya, inisiatif masarakat untuk menyudahi konflik ruang dan memperbaiki pola pemanfaatan dan penentuan fungsi ruang kedepan dengan menggunakan peta partisipatif telah diinisiasi sejak tahun 90an. Inisiatif yang dilakukan masyarakat dengan menyediakan data dan bukti kesejarahan status penguasaan ruang dan lahan melalui pemetaan partisipatif, sebagai alat penyelesaian konflik ruang dan lahan, belum menemukan sambutan yang memadai. Kendatipun apa yang dilakukan masyarakat dengan pemetaan partisipatif ini bukanlah dalam rangka merampas atau meniadakan tanah Negara. Melainkan upaya pembuktian dan menginformasikan tentang kesalahan dalam penentuan status penguasaan dan fungsi ruang serta ketidak jelasan tata batas oleh pemerintah. Disamping sebagai alat informative untuk menunjukkan bagaimana potret hidup masyarakat, kearifan lokal dan keinginan perbaikan hidup kedepan, dengan tetap memposisikan pemerintah sebagai pihak yang harus memfasilitasi proses verifikasi dan perlindungan hukum, baik status dan fungsi ruang.

Realitasnya, apa yang dilakukan masyarakat ini masih terhambat dengan hal-hal teknis seperti tidak tersedianya walidata, standar teknis pemetaan, metodologi, anggaran dan pola perencanaan pembangunan yang top down. Tanpa mempertimbangkan substansi partisipasi, resolusi konflik dan kejelasan status penguasaan dan pengelolaan ruang kedepan. Padahal apa yang dilakukan oleh pihak pemeta yang lain, baik swasta maupun pemerintah sekalipun, tidak lebih baik dari apa yang dilakukan masyarakat. Faktanya, sampai saat ini banyak desa-desa yang belum memiliki peta desa (hanya 29% peta desa yang definitive dari seluruh total desa dan kelurahan di Indonesia), kawasan hutan masih tumpang tindih penguasaan dan belum semua dikukuhkan, pemerintah bahkan tidak memiliki peta status penguasaan ruang oleh masyarakat yang terverifikasi dengan baik. Yang terlihat hanya peta politik penguasaan sektoral dan politik penguasaan peta sektoral.

 

Kawasan Hutan
Fungsi  Luas  (Ha)
APL             2,127,380.028
CA                   12,081.546
Danau                      1,369.891
HL             1,773,337.876
HP             1,140,146.928
HPK                 749,160.774
HPT             1,420,870.715
HSA                   13,614.819
KSA                   88,216.123
KSA/KPA             1,120,409.850
KSAL/KPAL                         881.380
TB                      7,748.291
TN                 467,059.944
TNL                              1.312
Tubuh Air                   46,934.806
TWA                   41,893.655
TWAL                            36.975
Grand Total             9,011,144.911

Tabel Tumpang tindih kawasan hutan dengan wilayah kelola masyarakat hasil pemetaan partisipatif

Sejalan dengan kebijakan pemerintah dewasa ini melalui kebijakan satu peta harusnya menjadi jalan pembuka bagi peran serta masyarakat dalam membantu pemerintah khususnya dalam penyediaan data spasial sebagai alat memperjelas, mempertegas dan menyelesaikan konflik ruang, yang dibarengi dengan proses verifikasi dan penetapan status ruang dan lahan.

Perijinan  Luas  (Ha)
Pemetaan Partisipatif      9,084,580.494
IUPHHKHT/HTI          504,552.986
IUPHHKHA/HPH          907,790.354
Tambang      1,767,805.457
Pam Oil          938,670.787

Tabel Tumpang tindih peta partisipatif dengan HTI, HPH, Tambang dan HGU

Percepatan Implementasi kebijakan satu peta

Jika mengacu pada istilah ilmu fisika, percepatan adalah laju perubahan kecepatan suatu benda saat bergerak. Jika kecepatan suatu benda tetap, benda tersebut tidak mengalami percepatan. Percepatan hanya timbul saat kecepatan suatu benda berubah. Bisa negatif, bisa positif. Percepatan juga mensyaratkan suatu kondisi atau situasi yang sudah bergerak dan mengalami penambahan atau pengurangan kecepatan.

Jika asumsi dalam kurun 6 tahun terakhir kebijakan satu peta ini sudah dianggap bergerak, tentu perlu melihat apa sudah dilakukan dan apa yang diperlukan agar pergerakannya pertambahan kecepatannya bisa bertambah. Paling tidak, dari sejak diluncurkannya isu kebijakan satu peta (onemap policy) di akhir tahun 2010 yang lalu, sampai saat ini pemerintah telah melakukan Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial I pada 28 Februari 2012 serta Rakornas Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG) pada desember 2012 di Jakarta yang melahirkan roadmap pembangunan infrastruktur Informasi Geospasial (2013-2017). Dalam rakornas IG tersebut juga telah dicetuskan empat pilar onemap yang meliputi one reference (satu referensi), one standard (satu standard), one data base (satu data base), dan one geoportal (satu geoportal).

Diluar konteks empat pilar dasar kebijakan satu peta tersebut, hal yang sangat penting terkait “OneMap” atau kebijakan satu peta adalah bagaimana membangun satu data peta detail dan valid sehingga tidak terjadi kesenjangan data dan tanpa tumpang tindih penguasaan dan pengelolaan. Melalui proses sinkronisasi dan integrasi data yang didahului dengan identifikasi-verifikasi dan proses penyelesaian konflik dan tumpang tindih, baik status lahan maupun fungsi ruang. Diharapkan kontestan kebijakan satu peta bukan semata mengakomodir peta formal pemerintah, melainkan juga pelibatan peran masyarakat dalam pengayaan data dan informasi spasialnya. Kemudian dikelola sebagai satu data base dalam satu geoportal yang mudah akses dan dijadikan sebagai satu standar dan satu acuan bersama dalam semua pengambilan keputusan. Semoga kebijakan satu peta bukan juga sekedar menjadi bank data dan alat kompromi politik penguasaan ruang. Kesamaan persepsi ini akan membantu mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan tujuan, proses dan strategi yang akan dilakukan kedepan.

Namun, hingga saat ini kebijakan satu peta belum jelas implementasinya dan masih terbatas pada mengumpulkan data sektoral dan penyiapan struktur dan infrastruktur. Belum sampai pada tingkat koordinasi, sinkronisasi, verifikasi dan integrasi data, terutama proses identifikasi, koordinasi, sinkronisasi dan verifikasi ditingkat lapang.

peta sebaran pemetaan partisipatif

  Peta sebaran pemetaan partisipatif di Indonesia

Di awal tahun 2016, pemerintah kembali meletakkan perhatiannya pada implementasi Kebijakan satu peta (onemap policy). Ini ditandai dengan ditetapkannya Perpres No 9 Tahun 2016 tentang percepatan implementasi kebijakan satu peta pada bulan Februari 2016. Perpres ini secara teknis memandatkan pelaksanaan dan percepatan kebijakan satu peta kepada tim percepatan Kebijakan Satu Peta (Tim KSP. Tim percepatan kebijakan satu peta ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam melaksanakan tugasnya, tim percepatan KSP dibantu oleh tim pelaksana Kebijakan Satu Peta yang diketuai oleh Kepala badan Badan Informasi Geospasial.

percepatan pelaksanaan KSP terdiri dari 4 (empat) kegiatan umum dalam kaitannya dengan data Informasi Geospasial Thematik (IGT) dan data Informasi Geospasial Dasar (IGD), yang terdiri atas:

  1. Kompilasi data IGT yang dirniliki oleh kementerian/lembaga, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan/atau pemerintah daerah untuk seluruh wilayah Indonesia;
  2. Integrasi data IGT melalui proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap IGD;
  3. Sinkronisasi dan penyelarasan antar data IGT yang terintegrasi; dan
  4. Penyusunan rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan IGT termasuk penyediaan alokasi anggaran dalam rangka penyelesaian permasalahan tersebut

 

Menindaklanjuti kebijakan diatas, pada tanggal 24 Maret 2016, kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan surat keputusan no 13 tahun 2016 tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Gesospasial Thematik. Kelompok kerja nasional ini bertugas untuk a). Membahas kebijakan teknis penyelenggaraan Informasi Geospasial Thematik dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Informasi Geospasial Thematik. b). Mensinkronkan perencanaan penyelenggaraan Informasi Geospasial Thematik antar pemangku kepentingan dan c). Mengintegrasikan Informasi Geospasial Thematik antar pemangku kepentingan untuk menjadi satu peta.

 

Terdapat 14 kelompok kerja thematic dalam surat keputusan kepala badan ini, merupakan kelompok kerja yang melaksanakan tugas sesuai dengan tugas kelompok kerja IGT tertentu. Termasuk dalam salah satu pokja thematic ini yaitu Kelompok Kerja IGT Masyarakat dan Hukum Adat.

 

Keberadaan Kelompok Kerja IGT Masyarakat dan Hukum Adat tidak dapat dipungkiri adalah merupakan peluang bagi masyarakat dan NGO pendukungnya untuk bersama-sama mendorong proses pengakuan, penyelesaian konflik ruang dan lahan serta mengintegrasikan data hasil pemetaan kedalam kebijakan satu peta. Beberapa catatan tentang kondisi yang diharapkan dalam proses berjalanya implementasi kebijakan satu peta diantaranya adalah :

  1. Adanya kebijakan

kebijakan yang memandatkan tentang pentingnya satu peta sudah ada, melalui UU No 4/2011 tentang Informasi Geospasial yang juga dilengkapi dengan perpres no 27 tahun 2014 tentang Jaring Informasi Geospasial Nasional. Kemudian diperkuat dengan dikeluarkanya Perpres No 9 Tahun 2016.

  1. Adanya wadah strukturural (system/mekanisme/NSPK dan walidata)

Walidata bagi data Informasi Geospasial Thematik sudah ditetapkan melalui keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial no 54 tahun 2015 tentang Walidata Informasi Geospasial Thematik. namun demikian, secara operasional, kebijakan ini belum sepenuhnya berjalan, karena secara structural, system dan mekanisme pengambilan data, verifikasi data, verifikasi lapang dan penyerahan data belum jelas. Dengan kata lain Norma Standar prosedur dan Kriteria dari wali data bersangkutan, khusunya bagi status penguasaan tanah, kawasan perdesaan dan wilayah adat belum dibuat, terutama ditingkat propinsi dan kabupaten. Hal ini perlu diperjelas agar bisa berkait langsung dengan Jaring Informasi Geospasial Daerah.

  1. Adanya data dasar yang sama

salah satu prinsip dasar kebijakan satu peta adalah penggunaan data dasar (peta dasar) yang sama sebagai acuan pembuatan IGT dengan sekala 1:50.000 atau lebih besar. Sementara ketersediaan data dasar ini sampai saat ini masih dalam proses penyiapan, baik penyediaan maupun updating datanya. Karena beberapa peta dasar yang sekarang ada masih merupakan produk fotogrametri tahun 1981-1982 dan hasil cek lapang tahun 1989. Dibeberapa tempat seperti dimerauke (tahun 2013) baru tersedia peta dengan skala 1:250.000. dari semua peta dasar yang tersedia, hampir seluruhnya menyatakan bahwa semua batas administrasi yang ada tidak bisa dijadikan sebagai acuan (referensi).

  1. Ketersediaan data IGT tiap pemangku kepentingan

Terkait ketersediaan data IGT semua sector/kelompok hampir sudah tersedia semua, kecuali peta batas desa yang baru 29% dan peta kawasan hutan yang masih tumpang tindih.  Sedangkan peta status penguasaan ruang masyarakat dan peta wilayah masyarakat hokum adat yang masih dalam proses pembuatan. Terkait hal ini perlu dipertimbangkan proses updating data dan penambahan data baru yang sedang dalam proses pembuatan.

Dalam konteks data masyarakat, secara internal perlu melakukan konsolidasi data, perbaikan dan standarisasi format data, layout dan skala, hal ini untuk mempermudah dalam proses verifikasi dan integrasi peta-peta masyarakat.

  1. Sinkronisasi data peta/kartometrik

Terkait hal ini, khususnya bagi peta masyarakat (lokal/masyarakat hokum adat), berdasarkan pada standar yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) masih dianggap sebagai peta indikatif, tidak standard dan bukan peta formal. Sehingga, dalam rangka mewujudkan produk satu peta yang sesuai seperti yang diharapkan dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu ada proses mendefinitifkan peta indikatif masyarakat, menstandardkan peta masyarakat dan menjadikan/adobsi peta masyarakat menjadi peta formal oleh pemerintah. Termasuk didalam prosesnya menyesuaikan definisi, atribut data, system koordinat, skala dan lain-lain. Untuk proses ini, penting bagi pemerintah untuk membangun struktur/wadah sebagai tempat verifikasi data peta yang dibuat masyarakat.

 

Kendatipun dalam undang-undang IG no 4 tahun 2011 telah menyebutkan peran orang-perorang dalam penyediaan data IG, namun belum ada aturan/pedoman teknis dari pemerintah yang mengatur tentang tata cara penyediaan data IG oleh individu, masyarakat dan kelompok masyarakat. Harapanya, metode yang dibuat pemerintah tidak mengurangi semangat partisipasi masyarakat dalam pengayaan data dan hanya terjebak pada hal teknis kartografi semata. Selama ini kelompok masyarakat sipil menggunakan metode pemetaan partisipatif dalam proses penyediaan data dan informasi geospasialnya.

  1. Verifikasi lapang dan penyelesaian permasalahan

Dengan asumsi proses sinkronisasi data bisa berjalan baik dan selesai, maka tahapan berikut yang tidak kalah pentingnya adalah proses verifikasi lapang, baik status dan fungsi ruang dan lahan. Seperti kita ketahui, bahwa kondisi dilapang ini bentuk sebenarnya dari proses satu peta. Selesainya permasalahan, konflik lahan dan tumpang tindih fungsi ruang adalah substansi, konteks dan persoalan krusial yang wajib mendapat perhatian lebih dari semua pihak. Dengan mengacu pada data IGT masing-masing pihak yang telah di sinkronisasi secara kartometrik, selanjutnya semua pihak bersama-sama melakukan verifikasi lapang (ground check), pembuktian, perubahan batas, dan membangun kesepakatan ulang yang dituangkan dalam satu surat berita acara dan dokumen hasil verifikasi.

  1. Penetapan

Untuk memperkuat hasil verifikasi lapang dan kesepakatan, akan lebih baik lagi jika ditunjang dengan proses penetapan status dan fungsi ruang sebagai jaminan keamanan bersama kedepan. Dengan demikian semua pihak akan sama sama dan bekerja sama untuk saling menjaga kesepakatan dan melestarikan fungsi ruang yang disepakati serta membangun kerjasama, insentif dan disinsentif atar pihak dan masyarakat.

  1. Integrasi data.

Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, adanya jaminan keberlanjutan kesepakatan dan fungsi ruang melalui proses integrasi data, peta dan dokumen kesepakatan menjadi satu peta dasar dana peta RTRW sebagai peta acuan bersama semua pihak dalam pengambilan keputusan dan perencanaan kedepan.

  1. Pengelolaan, penyimpanan, akses dan penggunaan data.

Sebagai salah satu bentuk keberlanjutan system, sosialisasi dan pemanfaatan data, maka data yang telah melalui serangkaian proses olah data selanjunya dihimpun dalam satu data base dengan aturan main menyesuaikan dengan norma, standar, prosedur dan criteria penyimpanan, pengelolaan dan penggunaan data dari masing-masing walidata dan penyelenggara IGT.

 

Dengan demikian, mewujudkan kebijakan satu peta tidak sedikit yang perlu dilakukan dan dibereskan, tidak sesederhana mengumpulkan data thematic, menyimpan dan mencantumkan dalam geoportal. Melainkan banyak proses dan memerlukan keterlibatan banyak pihak untuk mewujudkannya. Koordinasi, keterbukaan, kepercayaan dan komitmen yang kuat sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasinya sampai ketingkat desa. Dukungan pemerintah dan masyarakat menjadi kunci penting terhadap keberhasilan proses ini. Jika tidak, maka satu peta hanya akan menjadi satu gambar tanpa manfaat yang bisa menjamin kemanan, ketenangan dan kenyamanan semua pihak dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang.

 

Sebagai catatan lain, bahwa data hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat sangat beragam dan informative. Dalam satu wilayah masyarakat, peta partisipatif dapat terdiri dari informasi, batas wilayah adat, data kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan, data batas desa, data tata guna lahan, data rencana pemanfaatan ruang, wilayah kelola perairan dan pesisir, toponimi lokal, data social ekonomi dan lain-lain. Dengan demikian, terkait walidata dan proses adobsi, sinkronisasi dan integrasi peta masyarakat tidak cukup hanya dilakukan pada satu sector atau satu kementerian, melainkan bisa diintegrasikan pada sector lain.

 

Besar harapan masyarakat terhadap isu kebijakan satu peta ini akan menjadi pintu penyelesaian bagi semerawutnya konflik penguasaan ruang di Indonesia. Sampai saat ini dan terus bertambah, data peta masyarakat telah terkonsolidasi di Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) seluas 9.011.144,911 Hektar baik wilayah masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Peta-peta ini, dalam konteks kebijakan satu peta (onemap) siap diintegrasikan sebagai salah satu kontestan dalam proses verifikasi bagi peta-peta yang dibuat oleh pemerintah.