Oleh Fahmi, Koordinator SLPP Aceh
[Kabar JKPP Edisi 21]
Dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, pembangunan lebih diarahkan pada investasi berbasis lahan yang pada akhirnya menyebabkan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan investor, juga antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik akibat pencaplokan tanah telah menyebabkan masyarakat terlempar dari tanahnya. Dalam konteks Aceh, momentum penandatanganan damai pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, paska konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dengan Pemerintah Indonesia adalah momentum penting bagi masyarakat dan pemerintah. Kesepakatan damai di Aceh tidak hanya memberikan suasana damai untuk menjalankan roda kehidupan. Namun, telah membuka peluang besar bagi Aceh untuk mengatur wilayahnya (daerahnya) secara berdaulat baik secara pemerintahan maupun dalam pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, Aceh berkesempatan untuk mengimplementasikan hukum adat dalam setiap sisi kehidupannya. Termasuk juga memperoleh hak adat atas sumber daya alam dengan menjalankan aturan hukum adat dan juga menjalankan fungsi lembaga adat, yaitu mukim dan gampong sebagai lembaga pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat. Hal ini telah diakui oleh Negara melalui Undang – Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) No 11 Tahun 2006. Undang Undang tersebut mengakui kewenangan lembaga adat dan hak adat atas sumber daya alam. Penjabaran dari UU tersebut, saat ini propinsi dan kabupaten di Aceh telah mengeluarkan produk hukum qanun ( peraturan daerah ) yang mengatur tentang pemerintahan mukim dan gampong serta lembaga adat. Hal ini, telah mempermudah mukim dan gampong untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan maupun sebagai lembaga adat.
Mukim adalah salah satu bentuk pemerintahan yang terdapat di Aceh. Saat ini, keberadaan mukim telah diakui melalui Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya, Undang Undang Otonomi khusus Aceh Nomor 18 tahun 2001 juga telah memberi pengakuan terhadap keberadaan mukim sebagai sebuah unit pemerintahan. Unit pemerintahan terkecil di Aceh disebut gampong. Persekutuan dari beberapa gampong disebut Mukim. Gampong dipresentasikan oleh Keuchik sebagai pimpinan adat yang memiliki kewenangan untuk mempertahankan kedaulatannya terhadap kepemilikan atas lingkungan dan sumber daya alam, hak atas pemanfaatan sumber daya alam, hak untuk ikut dalam pengaturan lingkungan dan menyelenggarakan sejenis peradilan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi. Gampong dan Mukim menurut hukum adat merupakan badan hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban warganya. Mukim dan Gampong memiliki harta atau kekayaan tersendiri, baik berupa bangunan, tanah, perairan maupun lingkungan alamnya.
Mukim adalah konsepsi ideologis yang telah terbukti mampu mengharmonikan sistem kehidupan di Aceh. Selain itu, memberi jaminan terhadap kepastian hak atas kepemilikan pribadi maupun komunal. Karena, mukim mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan berorientasi pada keberlanjutan. Meskipun mukim- gampong sebagai struktur pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat formal di Aceh telah diakui dalam berbagai regulasi, mulai dari tingkat Undang-Undang hingga ke Peraturan Daerah ( Qanun ) baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Namun, secara implementasi atau pun prakteknya, keberadaan mukim dan gampong belum menjadi arus utama ( mainstream ) dalam setiap kebijakan daerah. Hal ini terlihat dari tidak adanya wilayah mukim termaktub dalam kebijakan tata ruang propinsi maupun kabupaten. Padahal, mengintegrasikan wilayah mukim dalam kebijakan tata ruang adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari pengakuan mukim dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) yang diikuti dengan lahirnya qanun-qanun tentang pemerintahan mukim maupun lembaga adat. Ironisnya lagi, mukim sebagai pemangku kepentingan dalam kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan wilayah dan juga pengelolaan sumber daya alam tidak diajak untuk ikut serta. Bahkan, sangat sedikit mukim yang memiliki informasi yang cukup tentang arah penataan ruang.
Memastikan Pembangunan Berbasis Mukim dan Gampong
Mukim yang merupakan suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah Aceh yang terbentuk melalui persekutuan beberapa gampong dengan batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya sebagai identitas komunal masyarakat adat di Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur pemerintahan sekaligus sebagai pengelola wilayah dan pengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Mukim mempunyai kewenangan mengurus harta kekayaan dan sumber pendapatan mukim.
Salah satu bentuk komitmen mukim dan gampong dalam merespon UUPA untuk proses percepatan implementasinya yaitu dengan mendorong partisipasi dan keterlibatan nyata dari mukim dalam penataan ruang, pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam. Mukim se-Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar (MDPM-AB) menilai dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), pemerintahan Aceh tidak melibatkan mukim sebagai salah satu pemangku kepentingan.“ Selain tidak dilibatkan, informasi yang berkaitan dengan dokumen tersebut pun tidak sampai kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA itu pada pelaksanaannya akan menggunakan wilayah dan ruang kelola mukim. Bukankah RTRWA merupakan kebijakan penting daerah yang harus diketahui masyarakat ?”
MDPM-AB menyadari bahwa RTRWA merupakan kerangka acuan bagi pembangunan dan berbagai aktivitas pemanfaatan ruang di Aceh untuk masa waktu 20 tahun kedepan. RTRW Aceh harus dapat mensejahterakan, menyelamatkan sumber penghidupan, keseimbangan alam, dan harmonisasi sosial. RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat daripada kepentingan segelintir orang. Pemerintah Aceh harus benar-benar mempertimbangkan hal-hal penting seperti pelibatan mukim dalam penyusunan aturan dan memasukkan wilayah kelola mukim sebelum RTRWA disahkan. Oleh karenaya, MDPM-AB berupaya untuk memastikan integrasi mukim dalam UUPA. Beberapa hal yang harus dipastikan dalam implementasi UUPA adalah sebagai berikut :
Pertama, keberadaan mukim yang sudah diakui di Aceh harus dipertegas wilayah kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan wilayah administratif mukim harus tergambar dalam wilayah setiap Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Kedua, RTRWA harus menegaskan pengakuan keberadaan Wilayah Kelola Mukim di daratan maupun di perairan, seperti : perkampungan (hunian), blang (sawah), uteun (hutan), paya (rawa), lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang meurabee (kawasan padang penggembalaan), peukan (pasar), bineh pasi (pantai), batang air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk), danau, laut, dan kawasan mukim lainnya yang menjadi ulayat mukim setempat. Ulayat mukim dimaksud juga merupakan penjabaran dari Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun 2009 Pasal 28 bahwa Harta kekayaan Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib memberikan perlindungan atas Wilayah Kelola Mukim tersebut dari kegiatan pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif yang merusak dan mengancam sumber-sumber penghidupan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bencana.
Ketiga, RTRWA harus memberi pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas wilayahnya, meliputi : (a) hak kepemilikan, (b) hak akses dan pemanfataan, (c) hak pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan hak asal usul dan hukum formal memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaan dan sumber-sumber pendapatan mukim yang secara kewilayahan ada pada wilayah kelola mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur dengan aturan adat mukim setempat dibawah koordinasi Imeum Mukim ; hak buya lam krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si uro jak wo. Dalam pelaksanaan teknisnya pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan oleh lembaga adat di mukim setempat. Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam wilayah mukim dikelola oleh haria peukan. Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot. Masyarakat mukim harus diberi akses dan ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas Wilayah Mukim, dan
Keempat, dalam semua proses penataan ruang Aceh ( perencanaan, pelaksaaan dan pemantauan ) Pemerintah Aceh harus melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim harus mendapat informasi yang lengkap atas dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat mukim harus diberi kewenangan untuk menyatakan boleh atau tidak atas penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak luar mukim.
Kelima, Pengakuan terhadap aturan-aturan adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang diinisiatif oleh mukim melalui musyawarah yang melibatkan setiap masyarakat dalam wilayah mukim. Sebagai pemerintahan, mukim dan gampong tentu saja memiliki kewenangan dalam membuat aturan-aturan.
Keenam, Pemerintah Daerah menerbitkan aturan-aturan atau keputusan-keputusan yang mendukung terhadap implementasi sistem pemerintahan mukim dan gampong. Dan juga aturan-aturan yang menjamin keselamatan sumber penghidupan masyarakat yang meliputi kawasan hutan, kebun, laut, padang pengembalaan, batang air, sungai, pasar rakyat, dan hak-hak ulayat lainnya.