Oleh Sandoro Purba
Spatial LAW Division – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
[Kabar JKPP Edisi 21]
Gagasan Atas Ruang
Hubungan Manusia dengan ruang, serta pemaknaan keruangan melalui penguasaan dan pemanfaatan kiranya akan tetap menjadi sebuah pertaruangan ide antara identitasi-identitas yang ada. Penguasaan ruang di Indonesia sangat erat dipengaruhi oleh pemberlakuan hukum kerajaan Belanda dimasa lalu melalui prinsip konkordansi. Peradaban manusia telah mengalami pahit getir perubahan penguasaan ruang. Setidaknya, dari zaman penaklukan atar suku sampai pada era kolonial berlangsung. Dalam konteks Indonesia, sebelum merdeka dan menjadi sebuah Negara yang berdiri sendiri, setidaknya Indonesia mengalami pemberlakuan hukum dari penjajahnya melalui prinsip konkordansi. Dimana, hukum Kerajaan Belanda diberlakukan di Hindia Belanda ketika itu. Hal ini berimplikasi pada konsep ruang, aturan mengenai penataan ruang itu sendiri serta hak tenurial (konsep kepemilikan atas benda dan sumber penghidupan) yang ada di masyarakat.
Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah unit sosial Nagari dan Negeri. Franz dan Keebet mengemukakan adanya persaingan antara dua entitas yaitu lembaga adat dan lembaga pemerintah dalam pemenfaatan ruang dengan mengambil contoh Nagari di Sumatera Barat dan Negeri di Maluku. Gagasan atas ruang dibentuk oleh hak ekonomi dan hak politik. Kondisi sosio politiklah yang membentuk bagaimana pengaturan ruang dan bagaimana pemanfaatannya. Sehingga, dalam perkembangan Nagari dan Negeri adalah buah pertemuan struktur lokal dengan pemerintahan Hindia Belanda pada masa penaklukan Kerajaan Belanda (dengan didahului VOC sebelumnya) dan kemudian di masa pemerintahan Republik Indonesia dengan struktur pemerintahan yang sentralistik. Persaingan hadir dan saling mencari celah antara lembaga tradisional—yang memiliki dimensi politik dan berkuasa membentuk konstruksi atas ruang—dan lembaga pemerintahan yang diseragamkan yaitu Desa—yang beroleh legitimasi dari Negara tampil di lapangan juga dapat mengkonstruksi ruang (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 2009).
Penyeragaman struktur kelembagaan komunitas yang multi kultural menjadi desa menjadi masa awal penaklukan unit-unit sosial kampung yang otonom yang dilakukan oleh Negara. Yando Zakaria menguraikan perubahan ini dalam bukunya Abih Tandeh, dimana penyeragaman Desa untuk seluruh wilayah Indonesia menjadi awal penaklukan dari unit-unit khas yang tadinya otonom (atau diharapkan menjadi otonom setelah masa penjajahan terdahulu) menjadi berpusat segala-galanya pada negara—yang oleh Soetadio Wignosoebroto disebut Etatisasi.
Bentuk kelembagaan adat/lokal yang dimiliki komunitas pada era kolonial dan setelah lahirnya Indonesia, tetap pada posisi saling beradu dan berusaha sedapat mungin mempertahankan kedudukannya atas ruang.
Etatisasi
Etatisasi, sebuah ungkapan yang mewakili kondisi ketika segala-galanya musti berpusat pada negara. Dan hal yang paling utama yang dijadikan landasannya adalah hukum. Etatisasi hukum dilakukan dengan memberlakukan unifikasi hukum. Sebuah upaya untuk menyeragamkan hukum yang berlaku tanpa memberikan perhatian pada pelbagai hukum yang hidup dalam suasana multikultural. Sebagaimana fungsi wilayah juga menjadi urusan negara yang ditetapkan kebanyakan tanpa melihat fakta sosial. Dimana, pemusatan kegiatan menjadi salah satu unsur paling kerap dilakukan sehingga orang menumpuk pada suatu wilayah meninggalkan kawasan perdesaan. Terkadang (atau bahkan lebih sering) nilai ekonomi yang lebih besar menjadi acuan utama tanpa memperhatikan keadaan sosial budaya dan kepedulian lingkungan hidup.
Salah satu bentuk unifikasi hukum yang dapat kita temui adalah pemberlakuan Bugerlijk Wetbook (BW) dari Belanda—yang saat ini diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Melalui KUHPerdata, aturan kepemilikan tanah cenderung diseragamkan oleh Negara. Hak kebendaan diterjemahkan dalam hukum kebendaan (properti: berkaitan kepemilikan) bukan menurut apa yang dipahami oleh masyarakat secara nyata di lapangan. Secara sadar atau tidak sadar, hukum kepemilikan benda yang diterapkan dengan KUHPerdata akan memperpanjang lagi masa-masa domain verklaaring. Dimana, sepanjang seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikannya atas suatu tanah, maka tanah itu adalah milik Negara.
Banyak hak kebendaan yang secara lokal berlaku dalam masyarakat tidak ada padanannya dalam KUHPerdata. Karena itu UUPA[1] ada untuk mengoreksi itu untuk menegaskan bentuk-bentuk penguasaan masyarakat atas sumber daya agraria dan hubungan-hubungan hukum yang boleh mereka lakukan. Sejauh ini belum ada pengaturan itu dengan kata lain belum diperinci lagi. Sehingga, Tanah Ulayat dan Hak Komunal lain serupa itu masih sulit diimplementasikan.[2] Akhirnya, di lapangan masyarakat berupaya menyesuaikan diri dengan keberlakuan KUHPerdata ini, yaitu mencoba memperoleh bukti tertulis atas penguasaanya atas tanah. Tetapi tidak semua bisa diakomodir dengan sistem pencatatan Negara terutama untuk dapat dibuatkan akta otentiknya di lapangan oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang berwenang untuk itu. Seperti kepemilikan seseorang di Kalimantan salah satunya adalah tembawang, maka tidak mungkin akan dicatatkan dalam administrasi pertanahan negara. Belakangan ini, masyarakat menggunakan mekanisme baru dengan menumpang pada tingkat pemerintahan yang paling rendah yang diakomodir dengan Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). Meskipun tidak sekuat Hak Milik yang diterbitkan oleh Negara, tetapi bisa memberikan perlindungan dalam tingkat lokal.
Pencatatan oleh Negara dengan sistem yang ada sekarang adalah melalui pencatatan dalam buku tanah yang sejauh ini baru sebatas Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Selain jenis hak-hak yang sejauh ini diakui negara, maka jenis hak yang diakui masyarakat di lapangan tentu akan diabaikan. Kecuali, Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dapat berlaku nantinya dengan efektif dan efisien. Di luar itu, maka bisa jadi domain verklaaring tetap berlaku. Sehingga, kalau pengakuan pada bentuk-bentuk penguasaan Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal baik komunal maupun individu belum diakui, maka akan lebih banyak HGU dan HGB yang akan terbit karena prosedur dan aturannya jauh lebih mudah dan jelas.
Negara bekerja dalam penguasaan ruang ini secara politis baik melalui penulisan sejarah dan kebijakan lembaga/badan negara. Dalam aspek sejarah, Max Lane pernah mencatat penulisan sejarah yang tunggal oleh militer sebagaimana dilakukan Nugroho Notosusanto. Selain hal-hal terkait penjajahan yang dialami Indonesia sebelum merdeka, para pelajar (genarasi muda Indonesia) “diharapkan dapat memahami bahwa kesatuan politik dan teritorilah yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan;” (Lane, 2014, p. 178). Maka, segala tindakan yang ‘dianggap mengutak-atik’ teritori akan diperhadapkan pada tuduhan makar atau mengganggu keutuhan negara. Selain itu, penegasan sejarah pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia, yang diidentikkan dengan “pendudukan-pendudukan lahan oleh petani” adalah salah satu bentuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Lane, 2014, p. 179).
Pemikiran-pemikiran yang menyudutkan masyarakat seperti di atas tentu harus sudah ditinggalkan. Kenyataannya ketimpangan penguasaan lahan itu terjadi di lapangan. Konflik bermunculan terutama karena masyarakat ingin mempertahankan ruang hidupnya. Jangan sampai, lembaga Negara hadir hanya sebagai alat perpanjangan tangan dari Negara dalam menguasai ruang. David Harvey (Harvey, 2001), mencontohkan Royal Geography Society (lembaga di Inggris yang mengurusi soal pemetaan), yang merupakan lembaga teknik dan sekaligus dengan para mekanik yang bekerja untuk mempertahankan imperium Inggris. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia mulai menunjukkan kesadaran untuk menata Indonesia lebih baik melalui Badan Informasi Geospasial untuk mengurusi penyatuan seluruh peta dasar di Indonesia.[3] Dimana, kewenangan penataan ruang di Indonesia saat ini cukup kompleks. Perlu dicatat, selain BIG, terdapat 69 pejabat setingkat eselon tiga yang tersebar pada 13 Kementerian/Lembaga, memiliki kewenangan dalam penataan ruang. Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjadi kementerian dengan kewenangan penataan ruang yang paling luas.[4]
Proses penataan ruang dengan mekanisme yang masih sangat sentralistik ini perlu dipikirkan kembali untuk konteks Indonesia khususnya. Penataan Ruang tidak luput dari dimensi sosial politik yang kuat di dalamnya. Untuk mengeliminir pengabaian unsur lokalitas dalam penataan ruang yang selama ini dipraktikkan oleh Pemerintah, maka ke depannya pelibatan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di komunitasnya masing-masing menjadi penting dilakukan Pemerintah. Bagaimana pun juga Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal memiliki pranata dalam penataan ruang dan hal itu bisa membantu Pemerintah dalam mengelola penataan ruang yang baik. Terlebih pengetahuan mengenai penataan ruang khususnya terkait pemetaan sudah semakin banyak dapat diakses publik dan peralatan untuk itu cukup tersedia.
Pemetaan Partisipatif: Suara Ekspresi Lokal atas Ruang
Pemetaan pada akhirnya bukan sekadar untuk mengambil titik dari sebuah kondisi geografis dan memindahkannya ke dalam sebuah bidang datar atau peta kartografis. Akan tetapi, pemetaan (dan semua proses di dalamnya) merupakan sebuah dialog antar identitas yang berbeda. Dimana, masing-masing identitas dengan kepentingannya akan dibicarakan dan disepakati. Pemetaan Partisipatif akhirnya hadir dalam kancah penyelesaan konflik di Indonesia setidaknya sejak tahun 1996 (JKPP), yang ditandai dengan lahirnya Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Salah satu prinsip penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah Prinsip Kesatuan yaitu:
“Hasil pemetaan partisipatif merupakan satu kesatuan yang terdiri dari peta batas wilayah kelola atau wilayah adat, penggunaan lahan, dokumentasi sosial budaya, dan berita acara kesepakatan tata batas.”
Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat Adat ataupun Masyarakat Lokal merupakan sebuah konsep penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaaatan dan pengendalian pemanfaatan di dalam internal komunitas tersebut. Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh ini mempersyaratkan sebuah pengambilan data yang paling tidak sama dengan data yang dibutuhkan dalam suatu penataan ruang yang diatur oleh negara. Selama ini, peta dasar yang dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan Partisipatif berasal dari lembaga negara yang berkompeten untuk mengeluarkannya. (Purba, 2016)
Sejatinya JKPP bukan sekadar ‘tukang peta’ tetapi sekelompok orang yang ingin menyelesaikan konflik ruang. Dalam upaya penyelesaian konflik ini, peta adalah salah satu alat atau metode yang dipakai. Pemetaan Partisipatif menyediakan ruang dialog menuju sebuah kesepakatan. Sebuah dialog yang melibatkan banyak orang–banyak identitas dan kepentingan–akan memberikan peluang untuk transparan. Pertemuan tertutup dan informasi terbatas tentu akan lebih rawan konflik di belakangan hari. Oleh karena itu, dengan perencanaan yang tranparan dan demokratis akan mereduksi hegemoni atas ruang. Terutama negara yang sedang terjebak dalam ideologi pembangunan dan senantiasa mengintervensi penguasaan ruang dari masyarakat (Zakaria, Merebut Negara:, 2004, p. 30).
Selama ini produk Pemetaan Partisipatif yang dihasilkan oleh JKPP dan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) serta lembaga lainnya yang aktif dalam pemetaan partisipatif masih diposisikan sebagai Peta Indikatif. Selanjutnya, langkah yang terus digeluti adalah menjadikan produk pemetaan partisipatif sebagai bentuk peta yang defenitif. Peta yang defenitif bukan semata resmi dalam produk hukum negara, tetapi negara musti menghormatinya dengan tidak menerbitkan perizinan di atasnya atau menerbitkan produk hukum yang mengabaikan kedaulatan ruang dari Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal itu.
Saat ini, Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal sebagai warga negara harus menghadapi setidaknya tiga rezim penataan ruang. Rezim penataan ruang yang ada saat ini di Indonesia mencakup penataan ruang di Daratan,[5] Pesisir dan Pulau Pulau Kecil,[6] serta Laut.[7] Selain itu, Indonesia juga mengenal Badan Koordinasi Penataan Tata Ruang Nasional (BKPRN).[8]BKPRN menjadi wadah koordinasi antar lembaga Negara dalam penataan ruang. Hal ini sendiri menunjukkan betapa rumit dan berlapisnya penataan ruang di Indonesia.
Kerumitan dan hierarki penataan ruang itulah yang harus diubah dengan Pemetaan Partisipatif. Para penggiat Pemetaan Partisipatif akan berdiri berhadap-hadapan atau duduk dalam satu meja bersama pemangku kepentingan lainnya dalam proses penataan ruang ini. Hasil pekerjaan Pemetaan Partisipatif paling tidak telah mengubah cara pandang pemerintah. Dalam isu kawasan hutan, yang rawan dengan konflik, ada wacana Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS).[9] Meskipun belum menghasilkan kebijakan yang defenitif, tapi hal ini memberi gambaran kepada Pemerintah bahwa masyarakat bisa menunjukkan peta wilayahnya. Hal ini bisa membantu Pemerintah untuk mengetahui dimana saja konflik itu terjadi. Terlebih, Pemerintah tidak harus memulai dari nol lagi dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut.
Sementara itu, beberapa Masyarakat Adat telah mengajukan permohonan status Hutan Adat dengan menyertakan peta Hutan Adat mereka yang dibuat melalui proses pemetaan partisipatif.[10] Pemerintah tentu akan terbantu dengan adanya peta dari proses pemetaan partisipatif. Selanjutnya Pemerintah tinggal melakukan validasi dan verfikasi terhadap peta-peta ini. Akan lebih mudah lagi jiga Pemetaan Partisipatif ini terintegrasi dengan sistem Negara melalui pelibatan dan partisipasi aktif masyarakat dalam penataan ruang nantinya.
Di sisi lain, dengan adanya Pemetaan Partisipatif telah juga dapat berkontribusi pada diskusi seputar Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan kekayaan data yang dihasilkan dari pemetaan partisipatif selama ini bisa memperkaya Informasi Geospasial Dasar (IGD). Dengan berkontribusi pada IGD, Pemetaan Partisipatif dapat menambah banyak sekali data sosial ekonomi budaya bukan sekadar objek yang dapat dilihat saja. Dan apabila ada kesediaan BIG untuk mem-verifikasi produk dari Pemetaan Partisipatif tentu bisa dinaikkan menjadi IGT—setingkat di atas IGD dan memiliki kekuatan hukum dengan legitimasi Pemerintah.[11] Atau setidaknya, BIG dapat membuka ruang diskusi kembali dengan para penggiat Pemetaan Partisipatif dalam mengakomodirnya dalam standar BIG. Sehingga, akan memudahkan pekerjaan di lapangan nantinya antara masyarakat dan Pemerintah dengan dasar standar yang telah sama. Selain itu, diskusi mengenai Walidata,[12] yaitu pihak yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan IGT tertentu, juga menjadi penting. Sebab siapa yang memegang data tentu akan memiliki kuasa yang lebih dalam mengambil kebijakan.
Kesimpulan
Memposisikan identitas-identitas yang ada dalam kondisi yang setara dan saling menghormati dan menujunjung kedaulatan masing-masing adalah sebuah tantangan yang ada ke depannya. Sebab dengan cara itulah, dialog yang setara yang menghormati kedaulatan rakyat atas ruang dapat direalisasikan. Selain itu, Pemetaan Partisipatif harus mendobrak penataan ruang yang terpusat pada negara. Para pemangku kepentingan dalam proses penataan ruang juga sedemikian banyak dan hal ini harus disadari oleh aktor yang bekerja dalam Pemetaan Partisipatif. Sejatinya, tantangan dari proses Pemetaan Partisipatif adalah pemusatan perencanaan tata ruang. Sudah semestinyalah harus ada kesempatan yang sama untuk setiap warga Negara dalam penataan ruang melalui pemetaan partisipatif. Sesungguhnya tidak akan ada masalah terkait legitimasi penataan ruang sepanjang ada penghormatan atas hak masing-masing pemangku kepentingan, tanpa adanya unsur paksaan dan dibuat dalam suatu proses yang setara.
Bibliography
Benda-Beckman, F. v., Benda-Beckman, K. v., & Griffiths, A. (2009). Spatializing Law: an anthropological of law in society. Burlington: Ashgate.
Benda-Beckmann, F. v., & Benda-Beckmann, K. (2009). Contested Spaces of Authority in Indonesia. In F. v. Benda-Beckmann, K. v. Benda-Beckmann, & A. Griffiths, Spatializing law : an anthropological geography of law in (pp. 115-135). Burlington: Ashgate.
Harvey, D. (2001). Space of Capital: towards a critical geography. New York: Routledge.
JKPP. (n.d.). Profil JKPP. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from http://www.jkpp.org/?page_id=8
Lane, M. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Purba, S. (2016, Juli Senin). palos Sandoro Purba. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from https://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-masyarakat-dalam-penataan.html
Simarmata, R. (2002). “Pengertian Dasar dan Teknik Perancangan Perundang-undangan: Resiko Tradisi Hukum Tertulis. Jakarta: HuMa.
Zakaria, R. Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
Zakaria, R. Y. (2004). Merebut Negara:. Yogyakarta: LAPERA bekerjasama dengan KARSA.
[1] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (LN Tahun 1960 No. 104, TLN No. 2043)
[2] Sekalipun ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, hal ini belum memadai. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 Tahun 2016 ini mengganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Dimana aturan terdahulu adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sejauh ini, dua aturan lama minim implementasi dan bisa dibilang tida berdaya guna dilapangan. Perlu diteliti lebih lanjut apakah peraturan baru ini bisa memberikan jawaban atas pengakuan bentuk bentuk penguasaan komunal yang ada di dalam masyarakat.
[3] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214 Jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 Tentang Badan Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144.
[4] Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik.
[5] Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).
[6] Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739).
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.
[8] Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989. Nama lembaga ini selanjutnya dirubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1993, yang kemudian ditetapkan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000.
[9] Ada sejumlah rapat yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui DIrektorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melibatkan banyak lembaga swadaya atau ornop dengan mendiskusikan Peta Partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kawasan Hutan yang dikukuhkan negara.
[10] http://brwa.or.id/articles/read/260, diakses pada 8 Agustus 2016.
[11] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214.
[12] Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.