Kabar JKPP

Menuju Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Peta Wilayah Adat dalam Kebijakan Satu Peta

Kasmita Widodo, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
Kasmita Widodo, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)

Oleh: Kasmita Widodo (Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat)

[Kabar JKPP Edisi 22] Sejak diluncurkannya Geoportal Kebijakan Satu Peta pada akhir tahun 2018 lalu, ada beberapa hal yang menjadi perhatian publik. Pertama, ada dua komponen peta Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang belum terkompilasi, yaitu peta batas desa dan peta tanah ulayat (wilayah adat). Padahal dua peta tematik ini sangat strategis terkait dengan ruang hidup masyarakat adat dan warga desa. Dapat dikatakan dua peta tematik ini menjadi layer (lapisan) paling bawah yang berhubungan langsung dengan keberadaan dan relasi masyarakat dengan sumber-sumber agraria dengan berbagai pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat seperti berladang, sawah, kebun campur (agroforestry), menangkap ikan, berburu, memanfaatkan hasil hutan maupun hasil laut, danau dan sungai.

Peta desa dan peta wilayah adat menjadi basis informasi spasial masyarakat untuk pengelolaan ruang hidupnya (territory of life), dan kaum gerakan sering menyebutnya sebagai wilayah kelola rakyat. Oleh karena itu kedudukan peta desa dan atau peta wilayah adat dalam proses kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi pada kebijakan satu peta perlu dilakukan sejak awal proses tersebut dijalankan. Aspek pengelolaan wilayah (tata kelola) dan aspek penguasaan wilayah (tata kuasa) masyarakat melekat dan dapat ditelusuri kesejarahannya pada dua peta tematik tersebut.

Kedua, isu kewenangan akses untuk berbagi data informasi geospasial melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) dalam percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.  Hal ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2018. Perpres ini mengatur siapa saja yang dapat mengakses 85 peta tematik yang termuat dalam geoportal satu peta dengan jenis akses yang dapat dilakukan seperti mengunduh, melihat dan/atau tertutup. Akses JIGN hanya diberikan kepada pejabat pemerintah dimulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Kepala Badan Informasi Geospasial memiliki kewenganan menguduh dan melihat, sedangkan Menteri atau pimpinan lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota memiliki kewenangan akses untuk mengunduh, melihat, dan/atau tertutup. Kewenangan akses ini masih akan diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta.

Dengan Keppres ini maka imaginasi Kebijakan Satu Peta yang disajikan melalui  Geoportal yang dapat diakses oleh publik menjadi sirna. Tertutupnya akses data tematik atau pembatasan akses data spasial oleh publik tersebut merupakan kemunduran luar biasa terhadap hak-hak masyarakat. UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2018 diantaranya mengatur tentang informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, diantaranya hasil keputusan Badan Publik dan pertimbanganya dan seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya (Pasal 11, ayat (1) huruf b dan c.  Dengan Keppres pembatasan akses ini, maka informasi peta kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup termasuk informasi yang dapat diunduh dan dilihat oleh publik, menjadi informasi yang tertutup begitu diintegrasikan dan dimuat di dalam Geoportal Kebijakan Satu Peta. Aneh !

Peta Wilayah Adat
Dalam Perpres Kebijakan Satu Peta, IGT Tanah Ulayat menjadi salah satu unsur peta yang perlu dikompilasi, integrasi dan sinkorinisasi.  Peta ini merujuk pada peta yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Dalam perkembangan pembentukan kebijakan daearah saat ini sudah cukup banyak pemerintah daerah kabupaten menerbitkan  kebijakan daerah dalam bentu Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).  Peta Wilayah Adat menjadi satu dokumen lampiran Perda dan/atau keputusan kepala daerah yang tidak terpisahkan. Ini merupakan bentuk pengakuan atas subyek (komunitas) sekaligus pengakuan obyek (tanah ulayat atau wilayah adat), termasuk pengakuan data informasi geospasialnya dalam bentuk peta wilayah adat.  Hal ini sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seperti yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam lampiran UU tersebut yang mengatur kewenangan dituliskan bahwa Pemerintah Daerah Provinisi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan melakukan identifikasi dan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat.  Hal ini juga diatur di dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Pertanyaannya mengapa kompilasi peta wilayah adat belum terjadi dalam Geoportal Kabijakan Satu Peta? Dalam beberapa kesempatan penulis ikuti diskusi dengan Sekretariat Pelaksana Kebijakan Satu Peta (PKSP) dan Kantor Staf Presiden sebelum dan sesudah peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta.  Sekretariat PKSP memasukkan peta tanah ulayat atau wilayah adat melalui peta tematik hutan adat (walidata Kementerian LHK) dan peta tanah hak komunal (walidata ATR/BPN).  Tafsir atas IGT Tanah Ulayat dan langkah Sekretariat PKSP tersebut menimbulkan pertanyaan, dimana akan diintegrasikan peta wilayah adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah? Jika peta ini akan diintegrasikan dalam Jarigan Informasi Geospasial Daerah (JIGD) di tingkat kabupaten, maka perlu perhatian terkait infrastruktur jaringan sistem informasi, komptensi dan kapasitas pengelolaan dan anggaran.

Tantangan Integrasi Peta Wilayah Adat
Melihat skema kompilasi dan integrasi peta wilayah adat seperti itu maka ada beberapa tantangan yang perlu dicari jalan keluarnya;

  1. Peta Tanah Hak Komunal melalu skema Pengakuan Hak Komunal. Rujukan kebijakannya adalah Peraturan Menteri ATR/BPN No.10 tahun 2016 tentang Pengakuan Hak Komunal.  Sejak diterbitkan peraturan ini, belum ada satu penetapan pun hak komunal yang diterbitkan oleh Menteri ATR/BPN.  Belum ada petunjuk teknis dan program yang menjalankan kegiatan-kegiatan identifikasi dan penetapan hak komunal.  Jadi masyarakat adat akan kesulitan menggunakan skema ini jika tidak ada perubahan dalam program nasional untuk melakukan pengakuan hak komunal masyarakat adat.
  2. Peta Hutan Adat melalui skema Pengakuan Hutan Adat. Skema ini merujuk pada Peraturan Menteri LHK No.32 tahun 2015 tentang Hutan Hak. Sejak Putusan MK35 dibacakan tahun 2013 yang menegaskan bahwa Hutan Adat adalah bukan Hutan Negara, proses implementasinya di KLHK sangat lambat, sampai Maret 2019 baru sekitar 28.286 hektar yang ditetapkan sebagai Hutan Adat.
  3. Pengembangan JIGD di kabupaten. Perlu pembentukan dan pendampingan Badan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Simpul Jaringan di tingkat kabupaten. Aspek kompetensi dan kapasitas kelembagaan pengelola JIGD serta anggaran pengelolaannya.  Ini hal yang tidak mudah bagi pemerintah daerah dengan tambahan “beban” bagi postur anggaran daerahnya.
  4. Peran Kemendagri dalam Integrasi Peta Wilayah Adat. Saat ini belum ada unit atau satuan kerja di Kemendagri yang bekerja untuk melakukan kompilasi peta-peta wilayah adat yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, melakukan peran aktif sebagai walidata atas peta-peta wilayah adat yang akan diintegrasikan dalam Sekretariat PKSP.

Dari sisi masyarakat, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah mencatat sekitar 1,4 juta peta wilayah adat telah memiliki penetapan pengakuan melalui kebijakan daerah (Perda dan/atau SK Bupati), ada 2,4 juta hektar berada pada kabupaten yang telah menerbitkan Perda pengakuan MHA dalam bentuk pengaturan tata cara pengakuan, dan masih ada 6,5 juta hektar menunggu proses penerbitan kebijakan daerah untuk pengakuan MHA.  Dengan demikian perlu segera kejelasan proses integrasi peta wilayah adat sebelum akhir tahun 2019 sebagai target capaian PKSP atau Kebijakan Satu Peta ini memang bukan tempat untuk Peta Wilayah Adat.

Penulis: Kasmita Widodo (Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat)