Oleh: Mumu Muhajir
[Kabar JKPP Edisi 22] Kebijakan Satu Peta (KSP) dilahirkan dengan harapan terselesaikannya tumpang tindih pengelolaan ruang dan lahan di Indonesia. Berawal dari kenyataan masing-masing institusi pemerintah memiliki peta atau referensi ruang yang berbeda-beda. Dampaknya adalah kuatnya ego sektoral dalam melihat dan memanfaatkan ruang dan lahan (atau sebaliknya perbedaan peta dihasilkan dari kuatnya ego sektoral) serta adanya konflik pemanfaatan ruang dan lahan. Dampak ikutan lainnya adalah kesulitan dalam membuat perencanaan ruang dan konflik/tumpang tindih pemanfaatan ruang. Tidak hanya masyarakat yang kena dampaknya (ruang hidupnya tetiba ditetapkan sebagai kawasan hutan atau lahan HGU), tetapi juga menyulitkan negara dalam melaksanakan kegiatan pembangunannya. Ketika tata batas desa belum jelas, administrasi pemerintahan akan terkendala, data kependudukanya tidak jelas sehingga bantuan kepada masyarakat tidak akan optimal.
Kebijakan satu peta sudah berjalan hampir satu dekade. Proses pengumpulan berbagai macam peta atau informasi geospasial tematik sudah dilakukan, tahapan integrasi-verifikasi dan sinkronasi sedang berjalan untuk sampai pada adanya satu acuan, referensi dan peta yang sama. Kerja yang tidak mudah. Terkait lahan, Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional sudah menyerahkan petanya kepada BRG untuk ditumpang-susunkan dengan Peta Rupa Bumi untuk akhirnya disinkronkan sehingga ada data yang sama terkait dengan pemanfaatan lahan.
Tidak hanya pemerintah yang terlibat, kelompok masyarakat sipil juga berpartisipasi setidaknya dalam menyerahkan peta penguasaan lahan oleh masyarakat/masyarakat adat kepada pemerintah. Penyerahan ini dengan harapan adanya data pembanding dan proses verifikasi dan sinkronisasi dengan satu peta yang sedang disusun oleh pemerintah.
Jika kita merujuk pada Perpres 9 tahun 2016, maka Juni 2019 ini menjadi waktu akhir dari proses perwujudan satu peta itu. Ditandai dengan adanya proses sinkronisasi antar Data IGT yang menjadi dasar dari adanya satu peta yang berkelanjutan. Konon, dari kabar yang beredar, satu peta itu sudah ada. Tapi apakah KSP ini sudah berjalan sebagaimana tujuan awalnya? Dan apakah kita, sebagai masyarakat sipil, bisa mengaksesnya?
Pertanyaan apakah kita sebagai masyarakat bisa melihatnya dan apalagi bisa mengambil manfaat dari keberadaan peta itu seharusnya menjadi basis dari kelahiran satu peta. Namun nampaknya keterbukaan informasi/data tetap menjadi persoalan menantang di sini. Dalam Perpres 9 tahun 2016 itu bahkan tidak ada pengaturan soal akses informasi bagi publik. Menjadi terang benderang ketika pada tahun 2018 akhir dan sampai pertengahan tahun ini, lahir berbagai peraturan yang secara ketat mengatur soal siapa yang bisa akses atas satu peta itu.
Keppres No. 20 tahun 2018 jo Permenko Perekonomian No. 6 tahun 2018 mengatur mengenai status data dan siapa yang bisa mengaksesnya. Akses atas data dan informasi terkait satu peta dibagi dalam mengunduh, melihat dan tertutup. Hanya presiden, Menko Perekonomian, Menteri/Kepala Bappenas serta Kepala BIG yang memiliki akses mengunduh dan melihat. Dalam arti bisa mengakses keseluruhan data dan informasi yang ada di dalam satu peta. Kementerian lain dan Pemda yang terlibat di dalam Kebijakan Satu Peta hanya memiliki akses terbatas dan bahkan tertutup untuk beberapa jenis data dan informasi. Misalnya untuk Peta HGU, HGB dan HPL, Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota tidak bisa mengakses nomor dan pemegang HGU/HGB/HPL, namun dapat melihat durasi HGU/HGB/HPL. Sementara untuk Peta Hak Ulayat, semua pihak yang disebut dalam Keppres 20/2018 dapat mengaksesnya tanpa pembatasan.
Dan paling mengecewakan adalah masyarakat sama sekali tidak punya akses pada satu peta itu. Bagi masyarakat sipil, keterbukaan data dan informasi menjadi prasyarat penting dalam memberikan data pembanding pada pemerintah dan khalayak luas serta menjadi amunisi dalam mengadvokasi kebijakan pembangunan pemerintah. Ketertutupan data dan informasi hanya akan membuat pemerintah berjalan tanpa pengawasan dan juga dalam ranah yang lebih luas mengganggu demokrasi Indonesia. Perlu diingat pula, beberapa informasi dan data yang diharapkan dapat diakses oleh masyarakat sipil sebenarnya data dan informasi publik yang bebas akses dan/atau akses terbatas dengan permohonan (seperti SK perizinan, HGU, RKU/RKT dan lainnya).
Ketertutupan informasi itu juga menghalangi masyarakat sipil untuk mengetahui kondisi terakhir data/informasi yang diserahkan kepada pemerintah. Apakah sudah ada proses verifikasi dan sinkronisasi atas data-data dimaksud dan bagaimana hasilnya? Ketiadaan umpan balik itu membuat masyarakat sipil mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kebijakan satu peta.
Atau memang itulah tujuan pemerintah atas kebijakan satu peta itu? Mengumpulkan peta yang terserak, memverifikasi dan mensinkronannya demi hanya kepentingan pemerintah saja? Agar proses pembangunan bisa lebih efektif dan efesien dan menghindari adanya konflik di antara mereka sendiri dan memfasilitasi pihak ketiga yang butuh lahan luas secara rahasia?
Dari dugaan di atas kita bisa melihat perbedaan melihat apa dan bagaimana kebijakan satu peta ini dikerjakan antara pemerintah dan masyarakat sipil. Bagi masyarakat sipil, kebijakan satu peta merupakan satu langkah awal terselesaikannya konflik penguasaan tanah. Bagi masyarakat sipil, proses penguasaan tanah yang didorong oleh pemerintah lewat perizinan melanggar banyak prinsip-prinsip HAM, keselamatan masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Karena itu kejelasan status dan penguasaan lahan menjadi penting. Karena itu ketika yang dikejar oleh pemerintah hanya ada satu peta tanpa ada proses penyelesaian konflik setelahnya maka kebijakan itu sia-sia belaka.
Karena itu, pemerintah perlu segera mungkin membuka akses atas satu peta pada masyarakat. Tentu saja akan ada pembatasan akses itu yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku tentang keterbukaan informasi publik. Beberapa keputusan pengadilan terkait dengan keterbukaan informasi data penguasaan lahan seperti HGU selayaknya dihormati dan kemudian diintegrasikan dalam mekanisme akses data dalam kebijakan satu peta. Ajak juga masyarakat sipil dalam proses verifikasi dan sinkronisasi peta (utamanya IGT) sebagai langkah awal penyelesaian konflik penguasaan lahan. Tanpa keterlibatan masyarakat dan transparansi data dan informasi, kebijakan satu peta hanya akan memperkuat posisi pemerintah dan mereka yang punya kedekatan dan akses politik pada pemerintah.