Oleh Mutmainnah, Komunitas Teras, Sultra
[Kabar JKPP Edisi 22] Pada tahun 1950, awal bulan Februari, Ir. Soekarno mengundang Kesultanan Buton untuk mengadakan pertemuan raja-raja se-Sulawesi di Makassar. Ir. Soekarno menawarkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kepada Sultan ke-38 Buton, La Ode Muhammad Walihi. Pada tahun 1951, pemerintahan Kesultanan Buton dibubarkan. Kemudian, pada tahun 1952, Kesultanan Buton bergabung dengan NKRI dalam Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara sebagai Kabupaten Sulawesi Tenggara yang berpusat di Baubau.
Kadie Liya merupakan salah satu wilayah adat di bawah kekuasan Kesultanan Buton. Kadie merupakan wilayah kekuasaan yang secara langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat (Kesultanan Buton). Struktur pemerintahan Kadie Liya terdiri dari 120 orang yang dipimpin oleh seorang Meantu’u (La Kina) yang disebut Sara dengan fungsi masing-masing. Wilayah kekuasaan Kadie Liya meliputi ± 1/3 pulau Wangi-Wangi. Beberapa kawasan seperti Kolo, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Simpora, dan Lagiampa sejak dulu berada dalam penguasaan Kadie Liya.
Adapun pembagian kawasan adat dalam tata kelola pemerintahan adat Kadie Liya meliputi; 1) Pemukiman, 2) Motika (Hutan adat), 3) Padhangkuku (Padang Savana), 4) Kolo u Sara (Teluk), 5) Laut. Kemudian Kadie Liya memiliki wilayah perbatasan dengan tiga kadie yaitu; 1) Sebelah Selatan dengan Bharata Kaledupa, 2) Sebelah Utara dengan Kadie Mandati, 3) Sebelah Timur dengan Laut Banda, 4) Sebelah Barat dengan Kadie Kapota.
Pada tahun 2003, Kabupaten Wakatobi mekar dari Kabupaten Buton. Secara administrasi, wilayah kekuasaan Kadie Liya terbagi menjadi lima desa yaitu, Desa Liya Togo, Liya Bahari Indah, Liya Mawi, Liya Onemelangka, dan Wisata Kolo. Perubahan peradaban dari zaman ke zaman mendorong nilai-nilai kearifan lokal terkait hak kelola wilayah adat mulai bergeser. Sehingga, fungsi dari tata kelola wilayah adat oleh pemerintah adat dikhawatirkan mulai terkikis.
Bangkitnya kesadaran pemerintah dalam mengembalikan identitas bangsa Indonesia melalui keragaman adat budaya memberikan harapan besar kepada masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menguatkan kembali wilayah adat serta nilai luhur budaya mereka. Melalui lahirnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 dan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.34 Tahun 2017 menjadi pegangan hukum dalam perjuangan masyarakat adat dan komunitas lokal yang masih menjaga pranata sosial dalam hukum adatnya untuk dapat diakui dan dilindungi oleh Negara.
Sejak dahulu sampai dengan sekarang, kawasan Kadie Liya belum memiliki peta tematik. Sehingga untuk mengetahui dimana saja tapal batas, tanah kelola adat, dan kawasan perairan laut. Selama ini, informasi terkait wilayah adat Kadie Liya hanya berupa keterangan lisan. Oleh karena itu, salah satu upaya mempertahankan nilai-nilai hak tata kelola wilayah adat Kadie Liya adalah dengan mengidentifikasi dan memetakan kawasan Adat Kadie Liya berdasarkan informasi pemangku adat dan masyarakat.
Pada bulan Januari tahun 2017 SLPP Sulawesi Tenggara melalui dukungan JKPP melakukan pemetaan partisipatif wilayah Adat Kadie Liya dengan tujuan untuk membantu masyarakat adat Kadie Liya dalam mengidentifikasi batas-batas wilayah Adat Kadie Liya, aset tanah kelola adat Kadie Liya, dan mengidentifikasi wilayah kelola laut Adat Kadie Liya. Oleh karena itu, rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pemetaan partisipatif wilayah Adat Kadie Liya ini adalah beberapa rangkaian diskusi antar desa dan Sara, pelatihan pemetaan partisipatif, lalu diikuti dengan pemetaan tematik; tapal batas Kadie Liya, Aset tanah kelola adat, serta wilayah laut Kadie Liya.
Proses pemetaan partisipatif wilayah adat Kadie Liya ini memakan waktu hinga satu bulan. Dalam prosesnya, pelaksanaan pemetaan partisipatif ini melibatkan anggota masyarakat adat Kadie Liya diikutsertakan dalam proses ini sebagai sumber informasi dan juga masyarakat Liya yang mengetahui tentang tapal batas Kadie Liya, dan juga beberapa pemuda yang etrmasuk dalam masyarakat Liya juga diikutsertakan untuk memenuhi transfer knowledge yang juga menjadi salah satu unsur dalam pemetaan partisipatif. Pemetaan ini diawali dengan FGD pertama yakni sosialisasi terkait rencanaan pemetaan partisipatif wilayah adat Kadie Liya dihadiri oleh jajaran pemangku adat Kadie Liya beserta pemerintah desa. Kemudian FGD kedua merupakan diskusi kampung untuk melakukan tracking terkait siapa saja orang-orang yang mengetahui dengan baik tapal batas wilayah adat Kadie Liya, dan siapa saja yang mengetahui sejarah wilayah adat Kadie Liya. FGD ketiga merupakan pelatihan penggunaan alat dan metode pemetaan partisipatif, serta diakhiri dengan pembagian kelompok kerja menjadi empat kelompok. Secara keseluruhan wilayah adat Kadie Liya mencakup wilayah daratan dan laut, sehingga pembagian kelompok dibagi menjadi kelompok wilayah darat dan kelompok wilayah laut. Pengambilan titik koordinat di darat dilakukkan selama dua hari dan pengambilan titik koordinat wilayah laut dilakukan selama satu hari.
Selama proses pengambilan titik koordinat, kelompok kerja mengakui adanya beberapa tantangan tersendiri dalam pengambilan titik koordinat di wilayah darat seperti medan yang penuh dengan bebatuan cadas yang bercampur dengan karang mati, kemudian wilayah semak belukar yang cukup rapat.
Pihak pemerintah desa terlihat sangat antusias pada pemetaan partisipatif wilayah adat Kadie Liya yang dilakukan ini dan berharap bahwa pemetaan kali ini tidak seperti pemetaan-pemetaan yang telah dilakukan sebelumnya. Seperti yang diceritakan oleh Kepala Desa Liya Onemelanka bahwa beberapa kegiatan pemetaan sebelumnya tidak menghasilkan satupun peta yang dapat dikonsumsi oleh pihak pemerintah sehingga tidak ketahuan hasilnya.
Sedangkan pihak lembaga adat Kadie Liya sangat mengharapkan pemetaan wilayah adat Kadie Liya ini dapat menjadi salah satu jalan dalam menyelesaikan konflik batas yang selama ini terjadi antara masyarakat adat Kadie Liya dengan masyarakat adat Kadie Mandati.
Setelah pengambilan titik koordinat dan penggambaran peta wilayah adat Kadie Liya selesai, proses selanjutnya pun dilakukan yakni sosialisasi hasil peta kepada beberapa wilayah adat Kadie yang berbatasan langsung dengan wilayah adat Kadie Liya. Untuk wilayah adat Kadie Kapota tidak terjadi permasalahan tapal batas wilayah adat dan masyarakat adat kadie Kapota menyepakati tapal batas tersebut. Sedang untuk masyarakat adat Kadie Mandati masih belum dapat menerima dan melakukan kesapakatan tapal batas wilayah adat Kadie Liya yang berbatasan dengan Kadie Mandati. Hingga saat ini ketidaksepakatan antara masyarakat adat Kadie Liya dan masyarakat adat Kadie Mandati masih berlangsung. Beberapa gagasan kemudian diusung untuk menyelesaikan masalah ketidaksepakatan tapal batas wilayah adat Kadie Liya dan Kadie Mandati seperti rencana pelaksanaan sarasehan adat yang masih belum dapat terlaksana. Namun sampai saat ini, advokasi untuk penyepakatan tapal batas masih terus dilanjutkan oleh lembaga lokal pemuda di Liya, yakni Lembaga Tapak Jejak.
Foto-foto Kegiatan