Oleh : Imam Hanafi (Kepala Divisi Advokasi di Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Bogor. Indonesia)
Pemetaan partisipatif merupakan media belajar bersama yang efektf dalam mengorganisir pengetahuan dan persepsi masyarakat atas ruang, apa yang terjadi saat ini dan apa yang akan direncanakan di masa mendatang
[Kabar JKPP Edisi 22]– Bagi masyarakat kasepuhan, bumi diartikan sebagai ruang hidup yang menyajikan sumber pangan, energi, pendidikan, kesehatan, ruang sosial, dan fungsi penting lainya. Kearifian tradisional masyarakat kasepuhan diterapkan dalam berbagi pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa yaitu pengelolaan hutan, sawah, kebun/ladang, mata air dan tambang emas.
Desa Warungbanten, merupakan salah satu potret desa yang mencerminkan kondisi kebanyakan desa di Indonesia. Tumpang tindih pengelolaan sumber daya alam (status dan fungsi), kerusakan lingkungan dan konflik batas terjadi di desa ini. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya data spasial maupun data sosial yang memadai sebagai basis data dalam melakukan identifikasi, verifikasi dan penetapan status dan fungsi ruang di tingkat desa. Ruang, batas wilayah dan klaim territori menjadi politis. Penentuan status dan fungsi ruang sepihak sering memicu konflik batas dan ruang yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat. Disisi lain pemerintah sering kali tidak memiliki data yang cukup memadai terkait gambaran existing kondisi status dan fungsi ruang ditingkat tapak.
Pemetaan partisipatif, berusaha menjawab pentingnya mendorong proses penyediaan data secara langsung oleh masyarakat sebagai alat verifikasi terhadap data yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak lain (counter data). Melibatkan peran serta semua kelompok sosial dan kelompok kepentingan ditingkat desa. Hal ini diharapkan akan meningkatkan posisi tawar dan peran serta masyarakat terhadap akses dan control masyarakat terhadap sumber daya alam melalui pembuktian status dan fungsi ruang sesuai kesejarahan dan kearifan masyarakat, secara partisipatif.
Metode Pemetaan partisipatif merupakan media belajar-bersama yang efektif dalam mengorganisir pengetahuan dan persepsi masyarakat atas ruang. Menelusuri kondisi masa lalu, apa yang terjadi sekarang dan apa yang diharapkan pada masa yang akan datang. Diskusi mendalam tentang ruang hidup dan sumber-sumber penghidupanya antar masyarakat bisa menghasilkan data spasial dan sosial yang menggambarkan kondisi suatu wilayah desa. Baik yang terkait dengan konflik tenurial, kearifan lokal dalam penatagunaan dan perlindungan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan. Selain itu, pemetaan partisipatif merupakan salah satu media masyarakat desa dan pemerintah serta pihak lain dalam membuat usulan perencanaan desa dan penyusunan peraturan desa.
Membuat data kewilayahan dan data sosial desa sampai saat ini masih dirasa sulit oleh pihak pemerintah. Baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah desa. Banyak persepsi yang menganggap metode dan teknologi penyediaan data spasial masih relative sulit dan mahal. Berbanding lurus dengan anggapan ketidakpercayaan bahwa masyarakat mampu membuat peta. Proyek ini salah satu upaya menjawab kondisi tersebut, selain dokumen kesepakatan batas antar desa, hasil-hasil proses pemetaan partisipatif di Warung Banten menghasilkan peta partisipatif tematik, peta perencanaan desa dan dokumen peraturan desa tentang perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam di desa Warung Banten, mendapat apresiasi yang baik dari pemerintah daerah Kabupaten Lebak, Propinsi Banten.
Seiring dengan itu, respon positif tersebut kemudian diwujudkan dalam dukungan dan persetujuan pemerintah daerah Kabupaten Lebak untuk memperluas uji coba penggunaan metode pemetaan partisipatif ke 22 desa di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Mekanisme pendanaannya pun, tidak hanya dari partisipasi masyarakat, namun uga bisa melalui anggaran pemggunaan Dana Desa, sesuai dengan peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Hal yang paling krusial yang menjadi kunci keberhasilan dalam perjalanan panjang proses pemetaan partisipatif di desa Warung Banten adalah adanya komitmen pemerintah daerah untuk mengadopsi data hasil pemetaan partisipatif yang akan ditetapkan melalui Peraturan Bupati.
Tantangan dalam pelaksanaan kegiatan dilapangan cenderung beragam dan variatif, baik teknis maupun substantif. Tantangan beratnya terletak pada proses sosial. Baik dalam membangun kepercayaan masyarakat dan juga pemerintah terhadap metode yang ditawarkan, membangun partisipasi keterwakilan kelompok masyarakat untuk terlibat aktif, melakukan koordinasi antar pihak dan memfasilitasi proses penyelesaian konflik ruang. Termasuk menemukan dan mengenali kelompok rentan. JKPP melakukan riset terlebih dahulu diawal untuk memastikan suara kelompok rentan salah satunya perempuan menggunakan metode Her-Story. Tantangan berat lainya yaitu terletak pada proses advokasi untuk mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari pemerintah. Karena sebaik apapun data yang dihasilkan dan sebagus apapun masyarakat membuat perencanaan ruang dan membangun peraturan perlindungan dan pengelolaan ruang, tanpa pengakuan dan dukungan kongkrit dari pemerintah, niscaya ketimpangan dan konflik kepentingan terkait status dan fungsi ruang serta pemanfaatan sumber daya alam tetap akan terjadi.
Secara umum, kehadiran metode pemetaan partisipatif sudah mulai diterima oleh masyarakat dan pemerintah. Namun sifat peta yang cenderung politis dan bermuatan kepentingan, tak terkecuali data pemetaan partisipatif, membuat proses ini tetap memerlukan proses asistensi dan advokasi yang harus dikawal secara intensif. Sebagai tindak lanjut pasca proses pemetaan di desa Warung Banten, JKPP berkepentingan untuk melanjutkan pendampingan proses pemetaan partisipatif di 22 desa di kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Dengan harapan, hasil-hasil catatan pembelajaran di Kecamatan Cibeber ini akan menjadi bahan refleksi dan evaluasi bersama bagi perluasan wilayah pemetaan bagi desa-desa di Kabupaten Lebak.
Melakukan audiensi dan evaluasi bersama yang melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, masyarakat dan pihak lain terkait proses dan temuan hasil pemetaan di Kecamatan Cibeber. Harapannya proses ini akan mendorong pemerintah daerah Kabupaten Lebak untuk membangun sistem data base peta wilayah desa. Mendorong kejelasan kelembagaan dan mekanisme teknis penetapan dan penegasan batas wilayah desa, sesuai mandat permendagri No 45/2016. Selain itu, mendorong dan mengawal komitmen Pemerintah Daerah kabupaten Lebak dalam rangka proses pengakuan dan penetapan hasil peta partisipatif untuk menerbitkan peraturan perundangan daerah (peraturan bupati) bagi desa-desa yang sudah memiliki peta desa.