Oleh Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP)
[Kabar JKPP Edisi 22] Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy telah menjadi kepedulian utama dan kegiatan penting yang diprioritaskan pemerintah sejak dicetuskan Jokowi dalam Nawacita (2014). Untuk itu, telah diterbitkan Perpres No. 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta 2016-2019 sebagai dasar hukum bagi pelaksanaannya.
Kebijakan ini lahir dilatari masalah tumpang tindih peta antar-sektor pembangunan. Hal ini, selain menimbukan ketidakpastian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembagunan, juga menyebabkan konflik antar lembaga yang masing-masing memiliki kewenangan dalam hal pemetaan. Untuk itu, presiden menghendaki kebijakan satu peta yang dapat mengitegrasikan sistem data, informasi dan peta untuk pembangunan yang sinergis dan berkeadilan.
Selain kebijakan satu peta, presiden juga memprioritaskan reforma agraria sebagai program prioritas untuk mengatasi ketimpangan ekonomi berbasis pemerataan. Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria ditandatangani 24 September. Salah satu syarat berhasil dari program reforma agraria adalah tersedianya data dan informasi mengenai obyek secara lengkap dan akurat. Di sinilah letak pentingnya dari peta mengenai obyek reforma agraria.
Bagaimana perkembangan kebijakan satu peta dikaitkan dengan pelaksanaan program reforma agraria? Mungkinkah reforma agraria diintegrasikan dalam kebijakan satu peta?
Perkembangan kebijakan satu peta
Dalam catatan Agung Hikmat (Tim Kebijakan Satu Peta – Kantor Staf Presiden), sejak 2016 diketahui bahwa Kebijakan Satu Peta telah berjalan dengan koordinasi di bawah Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi bersama Badan Informasi Geospasial. Pada perkembangannya, sejak 2016 sampai akhir 2018, Kebijakan Satu Peta telah berhasil melakukan konsolidasi terhadap 85 peta tematik yang dihasilkan oleh 19 Kementerian. Konsolidasi yang dimaksud memastikan peta yang dihasilkan oleh kementerian memiliki skala yang sama dan menggunakan basis peta dasar yang sama. Tanpa proses tersebut, proses overlay di antara peta sektor tidak menghasilkan informasi yang bermanfaat.
Pada tangal 11 Desember 2018 yang lalu, presiden meresmikan Geoportal Kebijakan Satu Peta sebagai kanal berbagi pakai peta-peta pemerintah yang akurat. Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, publik dan pemerintah mengetahui secara presisi potret tumpang tindih pemanfaatan lahan yang tengah terjadi. Tercatat 7,7 hektar atau 19,8% wilayah Kalimantan memiliki status pemanfaatan lahan yang tumpang tindih. Sementara di Sumatera diketahui 13.3% lahan memiliki status tumpang tindih.
Pada titik capaian ini, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, antara lain penyelesaian tumpang tindih yang telah teridentifikasi pada Pulau Kalimantan dan Sumatera tersebut. Upaya penyelesaian tersebut tidak mudah, pemerintah perlu menentukan metode yang jelas, memikirkan bagaimana dampak kebijakan atas perizinan yang tengah berlangsung, serta memastikan agar rekomendasi penyelesaian tumpang tindih dipenuhi oleh semua pihak yang terdampak. Selain itu, pemerintah perlu meneruskan proses integrasi peta pada provinsi lainnya, dan melakukan kompilasi atas peta tematik yang masih belum secara lengkap terkumpul.
Diantara peta yang masih perlu terus dilengkapi adalah peta Batas Desa serta Peta Tanah Ulayat. Peta tersebut memiliki nilai strategis, yang khususnya berdampak pada Program Reforma Agraria. Pemetaan tersebut tidak mudah mengingat skala peta yang akan perlu lebih besar dibandingkan dengan peta tematik lain pada skala 1:50.000. Pemerintah dan Masyarakat Sipil telah berupaya untuk bersinergi dalam menyelesaikan kompilasi peta tersebut.
Saat ini BIG telah memetakan lebih dari 40 ribu desa dan segera menyelesaikan keseluruhan sisa peta desa yang berjumlah tidak kurang dari 74 ribu desa. Namun perlu dipahami bahwa peta tersebut masih bersifat indikatif dan Pemda perlu melakukan pengesahan bersama dengan tim yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan (Permendagri 45/2016). Selain pemerintah pusat terus mendorong Pemda untuk melakukan pengesahan, dukungan masyarakat sipil juga diperlukan untuk mendukung Pemda.
Sementara itu, untuk Peta Tanah Ulayat, saat ini pemerintah membagi kompilasi peta menjadi Peta Hak Hutan Adat, Peta Hak Komunal, serta Peta Wilayah Adat. Dua peta pertama memerlukan pengajuan kepada Menteri LHK dan Menteri ATR/ BPN sehingga wilayah adat yang diajukan dapat memperoleh hak sebagaimana diatur UU. Sementara itu pemerintah juga tengah mengupayakan agar peta wilayah adat yang telah disusun masyarakat sipil berdasarkan Permendagri 52 tahun 2016, menjadi bagian dari Geoportal Kebijakan Satu Peta (sumber: Agung Hikmat, Mei 2019).
Secara programatik kelembagaan, BIG sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk menjalankan Kebijakan Satu Peta di bawah koordinasi Kemenko Bidang Ekonomi, telah berupaya untuk mengintegrasikan peta-peta dari berbagai kementerian/lembaga sektoral. Kantor Staf Presdien sebagai lembaga yang mengakselerasi pelaksanaan Kebijakan Satu Peta dan juga Reforma Agraria serta Perhutanan Sosial turut dalam proses persiapan pengembangan sistem dan kelembagaan pendukung kebijakan ini di tingkat nasional dan daerah. Misalnya dalam pembentukan Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) maupun Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di sejumlah provinsi.
Selain itu, secara khusus Kantor Staf Presiden juga mendorong agar hasil dari kegiatan integrasi peta ini dapat secara efektif digunakan bagi perbaikan perencanaan dan pelaksanaan redistribusi dan legalisasi tanah serta perhutanan sosial dalam kerangka reforma agraria.
Dinamika pelaksanaan reforma agraria
Sampai akhir tahun 2018, reforma agraria dalam pengertian redistribusi tanah telah dijalankan Kementerian ATR/BPN dengan realisasi yang masih terbilang rendah, yakni 545.425 bidang seluas 412.351 Ha. Ini kelemahan mendasar yang patut jadi catatan bagi Menteri ATR/Kepala BPN, untuk mengimbangi prestasi legalisasi yang mencapai lebih 12 juta bidang (2015-2019).
Sementara itu, reforma agraria juga dijalankan dengan memberikan akses pemanfaatan hutan kepada rakyat melalui lima skema perhutanan sosial. Per September 2018, ada 4.880 Ijin/Hak telah terbit untuk 476.113 KK, luas total 2.007.557 Ha, termasuk di dalamnya pengakuan 27.950 Ha hutan adat milik masyarakat adat (Kompas, 10 Mei 2019).
Terdapat tantangan besar dalam kegiatan redistribusi tanah, terutama kaitannya dengan kehutanan. Pelaksanaan reforma agraria dengan pemanfaatan tanah di kawasan hutan selama ini dijalankan melalui dua skema, yakni: (1) perubahan tata batas kehutanan dan/atau pelepasan kawasan hutan untuk menjadi obyek redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA), dan (2) perhutanan sosial melalui skema hutan adat dan skema perhutanan sosial lainnya.
Padahal, reforma agraria sudah menjadi kebijakan nasional yang operasional sebagaimana diatur dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, dan penyediaan TORA dari kawasan hutan diatur Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan. Namun pada kenyataannya, kegiatan redistribusi tanah dari bekas kawasan hutan yang targetnya 4,1 juta hektar dalam lima tahun (2015-2019) pencapaiannya masih sangat minim. Demikian halnya dengan pencapaian penetapan hutan adat dan hutan sosial di wilayah gambut sebagai bagian dari skema perhutanan sosial juga masih sangat lambat.
Di sisi lain, sengketa tanah atau konflik agraria masih terus terjadi. Sejak 2016-2018, KSP telah menerima pengaduan masyarakat sebanyak 555 kasus di sektor perkebunan, kehutanan, infrastruktur, pertambangan, transmigrasi, dan sebagainya. Luas tanah yang dipersengketakan tak kurang dari 421.671,72 hektar, dan 106.803 KK rakyat sebagai korban.
Kegiatan redistribusi tanah obyek reforma agraria dari bekas kawasan hutan dan kegiatan pengakuan hutan adat sebagai bagian dari Perhutanan Sosial selama ini masih sangat minim dan lambat. Oleh karena itu, kini diperlukan percepatan proses pelepasan kawasan hutan untuk jadi obyek redistribusi TORA, pengakuan hutan adat, dan penanganan/penyelesaian konflik agraria di bidang kehutanan.
Presiden menyadari hal ini dan memberikan arahan kepada para menteri terkait untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria serta menangani/menyelesaikan konflik agraria melalui Rapat Ternatas dan melalui Perpres 88/2017 tentang PPTKH, Inpres 8/2018 tentang moratorium ijin perkebunan sawit, dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Untuk mengakselerasi percepatan pencapaian target reforma agraria dan perhutanan sosial serta penanganan dan penyelesaian konflik agraria, Presiden meminta para menteri agar mempercepat pelaksanaan redistribusi TORA dari kawasan hutan, penetapan hutan adat, dan penanganan/penyelesaian kasus-kasus agraria di bidang pertanahan dan kehutanan.
Secara terintegrasi, sekarang ini diperlukan kerangka kerja teknokratis percepatan dan penanganannya di dalam atau secara bersama lintas kementerian dan lembaga di bidang pertanahan atau agraria, lingkungan dan kehutanan, pertanian dan perkebunan, BUMN, pertambangan atau ESDM, keuangan, dan Kemenko Perekonomian.
Dalam Rapat Terbatas (26 Februari 2019) Presiden telah meminta Kementerian LHK untuk mempercepat pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan obyek redistribusi TORA dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sebagaimana diatur Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria, khususnya tanah yang sudah jadi pemukiman, sawah, ladang, fasum, fasos, dan desa yang ada dalam klaim kawasan hutan (yang dikelola Perhutani di Jawa dan perusahaan di luar Jawa) untuk segera dikeluarkan/dilepaskan dari kawasan hutan untuk dimiliki masyarakat.
Bahkan dalam Rapat Terbatas (3 Mei 2019) Presiden kembali menegaskan perlunya penyelesaian masalah pertanahan ini. Presiden menyatakan perlunya evaluasi bahkan jika perlu mencabut ijin konsesi-konsesi yang menyingkirkan hak rakyat atas tanah. Kementerian ATR/BPN diminta segera memprores redistribusi dan legalisasi bagi tanah-tanah bekas kawasan hutan yang sudah dilepaskan Kementerian LHK, termasuk yang sudah diusulkan oleh masyarakat dan/atau pemerintah daerah.
Kementerian LHK diminta untuk mempercepat penetapan hutan adat sebagai bagian dari Perhutanan Sosial, khususnya memastikan pengakuan wilayah-wilayah adat yang sudah ada pendataan dan pemetaan lapangan, dan sudah melalui proses legislasi di daerah untuk segera dilakukan. Para menteri dan jajarannya sangat penting untuk menjadikan percepatan redistribusi TORA, penetapan hutan adat, hutan sosial di wilayah gambut, dan penanganan/penyelesaian konflik agraria –khususnya di bidang pertanahan dan kehutanan, sebagai bagian dari pelaksanaan reforma agraria sebagaimana diatur Perpres 86/2018.
Penting juga untuk mengembangkan tata laksana penanganan dan penyelesaian konflik agraria dengan pendekatan legal-formal, sosio-historis, dan sosio-kultural secara terpadu. Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Reforma Agraria penting untuk mengkordinasikan percepatan redistribusi TORA, penetapan hutan adat, dan penanganan/penyelesaian kasus-kasus konflik agraria yang ada di semua sektor yang saling terkait.
Integrasi reforma agraria dalam Kebijakan Satu Peta?
Apa pentingnya kebijakan satu peta dalam pelaksanaan reforma agraria? Bagaimana meletakan agenda-agenda reforma agraria dalam kebijakan satu peta? Penulis menyampaikan gagasan ini sebagai ide awal untuk didiskusikan lebih dalam dengan para pihak. Setidaknya terdapat beberapa jenis peta yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial. Peta yang dimaksud penting untuk mengetahui kondisi penguasaan dan pemilikan tanah yang aktual maupun untuk mengetahui sebaran dari capaian kegiatan redistribusi dan legalisasi tanah serta perhutanan sosial yang aktual.
Jenis peta yang pertama adalah peta dan data yang terbuka mengenai status pemilikan dan penguasaan tanah berdasarkan: (1) Hak Guna Usaha dari perkebunan dan Hak Guna Bangunan atas perusahaan swasta dan negara, baik yang masih aktif maupun yang sudah berakhir untuk melihat potensi tanah untuk redistribusi sebagai obyek utama reforma agraria, (2) Bidang-bidang tanah yang belum terdaftar dan/atau belum memiliki sertipikat untuk mengetahui target dari kegiatan legalisasi tanah bagi pemerintah, dan (3) Potensi kepemilikan tanah komunal berdasarkan hak kepemilikan bersama bagi masyarakat adat untuk melengkapi peta indikatif hutan adat yang disusun kementerian di bidang kehutanan.
Jenis peta dan data kedua mengenai: (1) Tanah hasil redistribusi atas tanah obyek reforma agraria yang sumbernya berasal dari bekas kawasan hutan yang dilepaskan, bekas HGU atau HGB dan tanah negara lainnya untuk mengenai sebaran capaian dari redistribusi tanah, (2) Sertipikat Hak Milik, termasuk dan terutama yang sudah berhasil diterbitkan melalui kegiatan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) untuk mengetahui sebaran capaian dari kegiatan legalisasi tanah, dan (3) Tanah komunal dengan hak kepemilikan bersama atau adat yang sudah diberikan oleh pemerintah dalam rangka pengakuan dan penguatan wilayah adat serta hak masyarakat adat dalam reforma agraria.
Adapun jenis peta dan data ketiga terkait potensi dan sebaran capaian dari kegiatan perhutanan sosial: (1) Peta ijin atau konsesi kehutanan, baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir untuk mengetahui potensi kawasan hutan yang bisa dilepaskan dan/atau ditata batas untuk menjadi TORA maupun untuk areal perhutanan sosial, (2) Sebaran capaian perhutanan sosial dalam skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, Hutan Desa, dan Hutan Adat, dan (3) Sebaran areal bekas kawasan hutan yang sudah dilepaskan dan/atau ditata batasnya untuk dijadikan TORA, sebagain bagian dari upaya pengakuan negara atas wilayah adat dan masyarakat adat.
Sedangkan jenis keempat adalah mengenai Peta Batas Desa yang penting disiapkan, disusun dan diintegrasikan dalam kebijakan satu peta. Dengan kepastian peta batas desa ini maka pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial akan bermakna meneguhkan kemandirian desa dalam penguasaan dan pengusahaan atas tanah, hutan dan wilayah desanya. Selain itu, peta batas desa ini penting dikaitkan dengan kepastian wilayah administratif desa yang sangat menentukan dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintah di perdesaan. Dalam hal ini, peran Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi memegang peran kunci.
Keseluruhan dari empat jenis peta dan data ini sangat penting untuk dijadikan prioritas dan dikerjakan oleh kementerian/lembaga terkait. Hal ini, dipentingkan untuk mengetahui kondisi obyektif dari potensi dan capaian kegiatan redistribusi dan legalisasi atas tanah obyek reforma agraria, serta perhutanan sosial –termasuk pengakuan wilayah adat dan penetapan peta batas desa. Peta dan data yang disiapkan kementerian terkait ini lalu diintegrasikan dengan peta-peta lain yang dikoordinasiokan oleh Kemenko Bidang Ekonomi dan BIG.
Penutup
Dengan disusun dan diintegrasikannya peta-peta terkait pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial dalam kebijakan satu peta ini, selain keterbukaan informasi bagi publik yang dengan sendirinya dapat dipenuhi pemerintah, juga persiapan dan perencanaan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial dapat dilakukan dengan lebih matang.
Terintegrasinya peta dan data ini kemudian diolah menjadi bagian dari sistem informasi utama mengenai potensi dan capaian reforma agraria dan perhutanan sosial. Pada gilirannya, informasi ini akan memudahkan dalam mengurai benang kusut kebijakan dan menata tumpang tindihnya praktek buruk di lapangan agraria dan pengelolaan kekayaan alam.
Mengintegasikan reforma agraria dalam kebijakan satu peta ini perlu kesungguhan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dengan bersinergi-kolaborasi bersama gerakan masyarakat sipil untuk membuatnya menjadi nyata dan berkualitas.***