Kabar JKPP

Menuju Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Perencanaan Tata Guna lahan dan Pengelolaan gambut berbasis masyarakat di Desa Henda, Jabiren Raya, Kab. Pulang Pisau

 Oleh Edy Subahani
SLPP

Pembukaan hutan dan kanalisasi (Tabat) lahan gambut

 

Sejak dibukanya Proyek Pembangunan  Gambut 1 Juta hektar di Kalimanatan Tengah di Kapuas, Barito Selatan dan Kota Palangka Raya pada tahun 1996, rentetan bencana kebakaran terus terjadi di beberapa wilayah kelola masyarakat yang mendiami bantaran sungai Kahayan, Kapuas dan Sungai Barito. Dampak langsung terhadap kegiatan PLG ini adalah hancurnya wilayah kelola masyarakat seperti kebun karet, kebun rotan, kebun buah, saka (anak sungai), handel dan beje (kolam ikan) karena tergusur oleh alat berat saat membuat kanal-kanal pengairan. Secara tidak langsung kanal-kanal tersebut mengeringkan permukaan air di rawa gambut serta mengeringkan tanah gambut yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 dan tahun 1998. Kebakaran hutan dan lahan masyarakat pada areal eks PLG ini terus berlanjut pada saat musim kemarau pada tahun 2003, 2008 dan tahun 2015.

 

Proyek PLG merupakan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, di kabupaten Kapuas, Barito Selatan dan Kota Palangka Raya. PLG ini awalnya bertujuan untuk mengubah hutan dan rawa gambut menjadi persawahan guna mempertahankan swasembada pangan. Proyek yang tidak didahului dengan perencanaan yang baik sesuai dengan kesesuaian ekologis dan kearifan lokal masyarakat ditambah lagi dengan krisis moneter pada tahun 1997-1998, berimplikasi proyek PLG terhenti.  Selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden No; 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah untuk pemulihan kondisi kawasan yang sudah dibuka. Pada tahun 2007, pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No; 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.  Inpres itu meliputi tiga program utama, yaitu konservasi, budidaya, dan pemberdayaan masyarakat lokal dan transmigrasi. Dalam masterplan kawasan seluas 1.462.295 hektar itu terdiri atas empat zonasi, yaitu zona kawasan lindung 773.500 hektar, zona kawasan penyangga budidaya terbatas 353.500 hektar, zona kawasan budidaya 295.500 hektar, dan zona pesisir 40.000 hektar.  Jangka waktu Inpres itu berakhir pada 2011, namun dokumen masterplan eks PLG yang dibuat juga belum digunakan secara sepenuhnya oleh para pihak.

 

Inisiatif masyarakat dalam mengelola dan merencanakan lahan eks PLG di Desa Henda secara Lestari

 

Di luar hiruk pikuk kebijakan pengelolaan lahan gambut rezim lama yang menyisakan dampak negatif tersebut, tidak menyurutkan upaya masyarakat untuk menjaga dan memulihkan hutan dan lahan gambut. Upaya tersebut diawali dengan membuat pemetaan partisipatif yang kemudian dilanjutkan dengan perencanaan tata guna lahan partisipatif.  Salah satunya yang dilakukan di Desa Henda, Desa Henda Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah menginisiasi perencanaan tata guna lahan partisipasi. Luas Desa Henda ini yaitu 8.547, 32 Km2 dan didiami oleh 184 KK dengan mayoritas penduduknya bersuku Dayak Ngaju. Dayak Ngaju Desa Henda tinggal di pinggiran sungai Kahayan dengan mata pencaharian sebagai petani karet dan dan buah serta nelayan tangkap. Masyarakat Ngaju sejak dahulu memiliki pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk dalamnya hutan dan lahan gambut.

 

Bagi masyarakat Desa Henda, pemetaan ruang desa memudahkan pengaturan dan perencanaan pembanguan Desa Henda. Selain itu, pemetaan partisipatif dapat menyelesaikan tata batas desa. Berdasarkan hasil diskusi perencanaan Desa Henda, mereka akan mengusulkan Hutan Desa yang berada sebelah barat desa yang merupakan lahan gambut yang rentan terbakar. Semenjak dibukanya eks PLG pada tahun 1997 di desa Henda sudah hampir 4-5 kali terjadi kebakaran hutan. Hal ini berdasarkan penuturan Kepala Desa Henda Bpk Teguh pada saat FGD menyatakan bahwa, “semenjak dibukanya PLG pada tahun 1997, setiap kemarau panjang wilayah desa Henda selalu terbakar dan merembet ke kebun milik warga. Sangat percuma kami setiap tahun menanam karet dan buah apabila selalu terbakar”. Bapak Teguh berharap dengan adanya pemetaan perencanaan di desa dengan memasukan rencana sumur bor dan tabat, dan wilayah desa Henda akan terhindar dari kebakaran. Bantuan pemerintah dalam hal ini sangat penting untuk melakukan pembasahan lahan-lahan gambut dan rentan terbakar di wilayah Desa Henda.

 

 

Melalui pemetaan dan perencanaan partisipatif, masyarakat menyepakati pembagian lahan sebagai berikut :

  1. Bahu ; Bekas ladang yang kemudian ditanam dengan tanaman keras, mis rotan, karet, atau buah-buahan lokal (rambutan, cempedak, paken, durian, dll), Lokasi ladang/pertanian Holtikultura.
  2. Bahu Himba adalah Hutan bekas garapan, umumnya ditanam dengan jenis: rotan, rumbia, karet, dan jenis lain yang bernilai ekonomis tinggi.
  3. Kabun Bua adalah Kebun buah-buahan dan bernilai ekonomis.
  4. Saka adalah Anak sungai, tempat masyarakat desa menangkap ikan sungai, Anak sungai yang terbentuk secara alami dengan jarak tidak panjang.
  5. Handel ; Sungai buatan atau terusan, Akses transportasi air ke tempat bertani dan berkebun
  6. Baruh/Ruak ; Kolam ikan alamiTempat ikan berkembang biak
  7. Petak Sahep ; Gambut tipis, sedang dan tebal, Habitat binatang langka (trenggiling/ahem)
  8. Petak Galam ; Tanah kritis bekas terbakar, air masam dan ditumbuhi galam (galam bernilai jual tinggi atau ekonomis), Habitat ikan khas (papuyu galam), Petak galam adalah tanah campuran gambut dan pematang
  9. Petak Katam/Rawa ; Daerah pasang surut dan ditandai dengan binatang kepiting
  10. kecil/Katam dan berada di pinggir sungai besar (Kahayan dan Kapuas), bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan permukiman
  11. Sungei ; Sungai atau anak sungai, Tempat mencari ikan dan prasarana transportasi tradisonal masyarakat.
  12. Petak Uwap ; Terdapat akar-akaran dan tumbuhan yang berada di atas sahep (Vegetasi yang dominan kelakai, gerigit, sapahiring, pawah, purun, dan galam), Berupa gambut tempat ikan dan ular sawah (panganen), depung, kura-kura(kelep)..
  13. Petak Mahang ; Tanah subur, Daerah potensial untuk bertani/berkebun

 

Kesepakatan tata guna lahan tersebut menjadi referensi semua pihak dalam melakukan pengelolaan sumber daya serta pembangunan desa.  Dalam pengelolan lahan gambut, handel dan tabat memiliki peranan penting. Secara prinsip handel merupakan sebuah konsep lokal yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dalam memanfaatkan gambut sebagai wilayah pertanian kolektif untuk pemenuhan sumber pangan dan produksi secara berkelanjutan dan sebagai jalur transportasi menuju lokasi  ke ladang dan kebun dan untuk mencari ikan. Handil merupakan bentuk pengelolaan kawasan yang awalnya adalah sebuah anak sungai kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang hingga 3-4 kilometer. Sisi kiri dan kanan handel dijadikan masyarakat tempat untuk lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah. Handel diperkirakan sudah ada sejak tahun 1900-an.

Tabat atau kanal dibuat menggunakan kayu galam yang disusun dan berfungsi seperti bendungan dengan ketinggian tertentu biasanya pada kanal lebar ……….. ketinggian bisa mencapai ……….karena membangun tabat harus memperhatikan arah aliran air, kedalaman gambut dan lebar kanal yang ada. Pada bagian tengah tabat diberi terpal dan timbunan karung tanah atau pasir yang berfungsi menahan air. Biasanya pada musim kemarau tabat bisa menampung air hingga kedalaman…..

 

Masukan contoh gambar tabat,

 

Kegiatan tabat kanal ini adalah untuk memastikan wilayah tersebut tetap menjadi basah ketika musim kemarau dan merupakan tahapan untuk memulihkan sebagian wilayah yang menjadi lokasi kebakaran hutan dan lahan dan pemantauan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari ancaman illegal logging dan kerusakan lebih parah.

 

Catatan : Lampirkan Peta Handil dan PLUP